Senin, 27 Juni 2011

We Are Learn To Pray

Kita tidak akan pernah tahu mengapa mimpi yang ada semakin terasa sangat asing. Ketika dunia mulai tidak dapat dimengerti. Aku melihat dari segala sisi. Semua kesulitan yang ada berawal dari sebuah mimpi akan pengharapan pada sebuah janji.


Semua ketika aku mulai mencintai untuk menulis. Menulis apa saja yang ingin aku jadikan sebuah pemikiran pasti. Lalu semua mulai menghilang karena adanya sebuah iri hati. Iri hati atas sebuah eksistensi diri. Aku mulai membaca segala sikap dengan sebuah pemikiran yang terbuka. Ternyata Tuhan adalah yang Maha Adil. Dia tidak akan mengambil apa yang memang untuk hamba-Nya.


Mereka bisa saja menutup segala fasilitas yang ada. Namun sayapku tak akan pernah berhenti mengembang. Harapan akan masa-masa indah bersama sebuah tulisan. Tidak akan pernah dapat mereka sentuh. Karena itu semua adalah milikku yang tidak akan mampu mereka rengkuh.



Kamis, 23 Juni 2011

Hanya Ingin Menulis.

Keinginan tidak sesuai dengan harapan. Aku hanya ingin menulis. Tapi nampaknya itu berat untuk dilakukan. Hal itu terjadi karena internet dicabut dari meja-ku. Sehingga mau tidak mau aku harus kerja tanpa internet. Dan keuntungan ku untuk dapat menulis pun dicabut begitu saja.

Tidak masalah. . .

Semakin demikian, maka aku semakin menutup diri dan tidak ingin terbuka dengan orang yang tidak ingin aku kenal. Sehingga di kantor pun aku jelas akan menerapkan batasan yang semakin keras dan tegas. Aku akan menjadi pribadi yang lebih bebas dan ekspresif. Namun tentu saja hal ini tidak akan menghalangi ku untuk menulis. Sayapku akan semakin mengembang indah.

Rabu, 01 Juni 2011

WANITA DAN POLITIK

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wanita dan politik. Pembahasan kali ini memang agak berisi dari yang sebelumnya. Karena ini sangat kontrovesrsial di dalam kalangan agama maupun sosial. Wanita yang di-identikan sebagai makhluk lemah. Selalu mendapatkan peranan nomor dua dalam dunia politik.

Banyak suara-suara wanita yang hanya dijadikan pengganjal agenda rapat pemerintahan. Tanpa pernah ada tindakan yang nyata. Paradigma yang terjadi adalah pendapat wanita selalu tidak absolut. Ini terkait oleh dogma-dogma kuno yang masih memegang teguh pemikiran konservatif. Bahwa wanita akan tetap menjadi wanita, yang hanya akan berada di sekitar dapur dan kamar.

Saya teringat akan sebuah perkataan dari ibu saya yang masih sangat membekas, tentang wanita.“Setinggi apa pun wanita mengenyam sebuah pendidikan, dan setinggi apa pun jabatan yang dimiliki oleh wanita. Ketika ia memiliki anak, maka ia tidak dapat bekerja lagi. Karena dia memiliki kodrat sebagai ibu yang tidak akan tega dengan anaknya”. Pertanyaannya adalah, apakah wanita bukan seorang manusia? Apakah seorang wanita tidak boleh berpikir? Ataukah seorang wanita tidak boleh memiliki cita-cita yang tinggi? Dan apakah wanita tidak boleh memiliki pendidikan yang baik?

Jawabnya adalah tidak!!!!

Wanita sama sekali tidak boleh mengambil sebuah tindakan dalam hidupnya. Wanita harus mengikuti adat istiadat yang berlaku, “kita ini orang timur lho nak”. Kata-kata yang kerap terlontar dari mereka yang memegang adat dengan sangat kuat.

Adat memenjarakan wanita. Adat mengekang wanita. Dan adat menghancurkan wanita. Wanita tidak dapat bebas dalam berpikir, berapresiasi, dan mengambil keputusan. Wanita hanya dijadikan gundik di rumah, yang hanya harus menerima dan menerima kenyataan tentang suaminya yang tidak sempurna, tentang suaminya yang selingkuh, tentang suaminya yang seorang koruptor, dan tentang suaminya yang seorang teroris. Wanita selalu harus diam. Wanita harus mengunci dan membuang jauh-jauh harapannya untuk dapat duduk setingkat dengan pria. Itulah realitanya.

Perjuangan Kartini

Siapa bilang perjuangan wanita sudah selesai? Siapa bilang ini semua sudah sesuai dengan hak wanita sebagai manusia makhluk Tuhan. Belum. Perjuangan Kartini belum selesai. Semua belum hilang. Pendiskriminasian gender masih terjadi di muka bumi. Bukan hanya di Indonesia.

Di Africa, wanita masih termasuk dalam kasta ter-rendah. Wanita tidak boleh menolak untuk melakukan hubungan seksual tanpa alat pengaman. Sehingga mau tidak mau, wanita harus dengan sukarela menerima imbas yang ada. Yaitu terjangkitnya penyakit kelamin dan AIDS. Hal ini terjadi, karena pendiskriminasian gender masih kental terasa di Africa. Pemerintah yang kurang tanggap terhadap gejala sosial yang memprihatinkan. Ini terjadi karena budaya yang berkembang belum dihapuskan. Budaya tentang wanita. Budaya yang memaksa wanita melakukan hal yang tidak ia inginkan.

Di Indonesia sendiri, semakin marak pernikahan di bawah umur, pelecehan terhadap anak-anak di bawah umur, dan perilaku inses yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya kita sadar bahwa pentingnya pendidikan dini bagi wanita maupun laki-laki. Tentunya pendidikan yang sama, bukan sekedar 'pendidikan' saja, yang asal bisa baca dan tulis lalu dibiarkan begitu saja.

Perjuang kartini terasa semakin berat setiap masanya. Selain harus menyamakan hak wanita. Hak yang diperjuangkan pun harus tidak bertentangan dengan agama. Mengingat banyaknya aksi-aksi feminis yang justru menjerumuskan wanita pada industri pornografi. Dimana yang terjadi justru adalah pemanfaatan wanita sebagai aset kepuasan semata dan pemenuhan nafsu seks bagi kaum laki-laki.

Sesungguhnya hak-hak feminis yang disuarakan oleh kaum feminis merupakan bentuk eksploitasi wanita yang berevolusi mengikuti perkembangan yang ada. Dalam hal ini wanita dituntut cerdas dan cepat tanggap pada perubahan-perubahan yang terjadi. Persamaan hak, bukanlah sebuah legalisasi untuk wanita agar betindak semaunya, tanpa memikirkan norma agama yang berlaku.

Kartini belum tamat, sejarah dan kisahnya akan terus hidup selama dunia masih terus berputar. Selama itu wanita akan tetap menjadi wacana yang tidak terpecahkan.

Definisi Wanita

Wanita adalah sebutan yang digunakan untuk spesies manusia berjenis kelamin betina. Lawan jenis dari wanita adalah pria. Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Untuk perempuan yang belum menikah atau berada antara umur 16 hingga 21 tahun disebut juga dengan anak gadis. Perempuan yang memiliki organ reproduksi yang baik akan memiliki kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui.


Definisi Politik                                                     




Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

  • politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
  • politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
  • politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
  • politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

Ilmu politik

Teori politik

Teori politik merupakan kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat, kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.

Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara negara di dunia antara lain: anarkisme,autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Lembaga politik

Secara awam berarti suatu organisasi, tetapi lembaga bisa juga merupakan suatu kebiasaan atau perilaku yang terpola. Perkawinan adalah lembaga sosial, baik yang diakui oleh negara lewat KUA atau Catatan Sipil di Indonesia maupun yang diakui oleh masyarakat saja tanpa pengakuan negara. Dalam konteks ini suatu organisasi juga adalah suatu perilaku yang terpola dengan memberikan jabatan pada orang-orang tertentu untuk menjalankan fungsi tertentu demi pencapaian tujuan bersama, organisasi bisa formal maupun informal. Lembaga politik adalah perilaku politik yang terpola dalam bidang politik.

Pemilihan pejabat, yakni proses penentuan siapa yang akan menduduki jabatan tertentu dan kemudian menjalankan fungsi tertentu (sering sebagai pemimpin dalam suatu bidang/masyarakat tertentu) adalah lembaga demokrasi. Bukan lembaga pemilihan umumnya (atau sekarang KPU-nya) melainkan seluruh perilaku yang terpola dalam kita mencari dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin ataupun wakil kita untuk duduk di parlemen.

Persoalan utama dalam negara yang tengah melalui proses transisi menuju demokrasi seperti indonesia saat ini adalah pelembagaan demokrasi. Yaitu bagaimana menjadikan perilaku pengambilan keputusan untuk dan atas nama orang banyak bisa berjalan sesuai dengan norma-norma demokrasi, umumnya yang harus diatasi adalah merobah lembaga feodalistik (perilaku yang terpola secara feodal, bahwa ada kedudukan pasti bagi orang-orang berdasarkan kelahiran atau profesi sebagai bangsawan politik dan yang lain sebagai rakyat biasa) menjadi lembaga yang terbuka dan mencerminkan keinginan orang banyak untuk mendapatkan kesejahteraan.

Untuk melembagakan demokrasi diperlukan hukum dan perundang-undangan dan perangkat struktural yang akan terus mendorong terpolanya perilaku demokratis sampai bisa menjadi pandangan hidup. Karena diyakini bahwa dengan demikian kesejahteraan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, saat tiap individu terlindungi hak-haknya bahkan dibantu oleh negara untuk bisa teraktualisasikan, saat tiap individu berhubungan dengan individu lain sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku.

Hubungan Internasional

Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional adalah hubungan antar negara, namun dalam perkembangan konsep ini bergeser untuk mencakup semua interaksi yang berlangsung lintas batas negara. Dalam bentuk klasiknya hubungan internasional diperankan hanya oleh para diplomat (dan mata-mata) selain tentara dalam medan peperangan. Sedangkan dalam konsep baru hubungan internasional, berbagai organisasi internasional, perusahaan, organisasi nirlaba, bahkan perorangan bisa menjadi aktor yang berperan penting dalam politik internasional.

Peran perusahaan multinasional seperti Monsanto dalam WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia) misalnya mungkin jauh lebih besar dari peran Republik Indonesia. Transparancy International laporan indeks persepsi korupsi-nya di Indonesia mempunyai pengaruh yang besar.

Persatuan Bangsa Bangsa atau PBB merupakan organisasi internasional terpenting, karena hampir seluruh negara di dunia menjadi anggotanya. Dalam periode perang dingin PBB harus mencerminkan realitas politik bipolar sehingga sering tidak bisa membuat keputusan efektif, setelah berakhirnya perang dingin dan realitas politik cenderung menjadi unipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan Hiper Power, PBB menjadi relatif lebih efektif untuk melegitimasi suatu tindakan internasional sebagai tindakan multilateral dan bukan tindakan unilateral atau sepihak. Upaya AS untuk mendapatkan dukungan atas inisiatifnya menyerbu Irak dengan melibatkan PBB, merupakan bukti diperlukannya legitimasi multilateralisme yang dilakukan lewat PBB.

Untuk mengatasi berbagai konflik bersenjata yang kerap meletus dengan cepat di berbagai belahan dunia misalnya, saat ini sudah ada usulan untuk membuat pasukan perdamaian dunia (peace keeping force) yang bersifat tetap dan berada di bawah komando PBB. Hal ini diharapkan bisa mempercepat reaksi PBB dalam mengatasi berbagai konflik bersenjata. Saat misalnya PBB telah memiliki semacam polisi tetap yang setiap saat bisa dikerahkan oleh Sekertaris Jendral PBB untuk beroperasi di daerah operasi PBB. Polisi PBB ini yang menjadi Civpol (Civilian Police/polisi sipil) pertama saat Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.
Hubungan internasional telah bergeser jauh dari dunia eksklusif para diplomat dengan segala protokol dan keteraturannya, ke arah kerumitan dengan kemungkinan setiap orang bisa menjadi aktor dan memengaruhi jalannya politik baik di tingkat global maupun lokal. Pada sisi lain juga terlihat kemungkinan munculnya pemerintahan dunia dalam bentuk PBB, yang mengarahkan pada keteraturan suatu negara.

Masyarakat

adalah sekumpulan orang orang yang mendiami wilayah suatu negara.

Kekuasaan

Dalam teori politik menunjuk pada kemampuan untuk membuat orang lain melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Max Weber menuliskan adanya tiga sumber kekuasaan: pertama dari perundangundangan yakni kewenangan; kedua, dari kekerasan seperti penguasaan senjata; ketiga, dari karisma.

Negara

negara merupakan suatu kawasan teritorial yang didalamnya terdapat sejumlah penduduk yang mendiaminya, dan memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan, dan keberadaannya diakui oleh negara lain. ketentuan yang tersebut diatas merupakan syarat berdirinya suatu negara menurut konferensi Montevideo pada tahun 1933

Tokoh dan pemikir ilmu politik

Mancanegara

Tokoh tokoh pemikir Ilmu Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain adalah: Aristoteles, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci, Harold Crouch, Douglas E Ramage.

Indonesia

Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo, Salim Said dan Ramlan Surbakti.

Perilaku politik

Perilaku politik atau (Inggris:Politic Behaviour)adalah perilaku yang dilakukan oleh insan/individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai insan politik.Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah:

  • Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin
  • Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol , mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat
  • Ikut serta dalam pesta politik
  • Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas
  • Berhak untuk menjadi pimpinan politik
Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.

Pemerintahan

Politik tidak akan lepas dengan pemerintahan. Dimana adanya sebuah pemerintahan maka disanalah politik berada. Wanita dan politik berperan penting dalam pemerintahan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri atau mungkin memang suatu keharusan pemerintahan menyediakan ruang bagi wanita untuk menyampaikan pendapatnya. Untuk wanita berkata tidak pada keputusan yang merugikan pihak wanita. Dan tindakan yang dianggap menyudutkan wanita.

Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Sebagai contoh: Republik, Monarki / Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut / Mutlak.

Dengan dimasukkannya permasalahan peningkatan peranan perempuan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, jelas bahwa sesungguhnya perempuan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. Perlu digarisbawahi bahwa perempuan bukan hanya memiliki hak yang sama dalam pembangunan, tetapi juga kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam melaksanakan dan menikmati pembangunan.

Dalam kenyataannya, meskipun iklim yang dikembangkan pemerintah memberikan banyak peluang sekaligus kewajiban pada perempuan untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan pembangunan, faktor-faktor kultural dan pandangan sebagian kelompok masyarakat tertentu masih menghambat pengembangan perempuan tersebut.

Faktor penghambat tersebut mencakup faktor yang berasal dari luar, maupun dari dalam, seperti 'konsep diri' dan persepsi perempuan itu sendiri terhadap peran dan kedudukannya. Dilandasi permasalahan dan situasi-kondisi seperti di atas, akan sangat bermanfaat bila dapat diperoleh gambaran dari perempuan sendiri, khususnya perempuan muda (yang tentunya masih memiliki peluang besar untuk mengembangkan dirinya) mengenai aspirasi, harapan-harapan, dan gambaran masa depan yang dicita-citakannya, bagaimana ia melihat dan mengolah aspirasi tersebut dalam keterkaitan dan saling pengaruhnya dengan berbagai aspek kehidupannya, serta bagaimana ia kemudian menampilkan dirinya.

Melalui penelitian mengenai hal tersebut, akan dipahami secara lebih mendalam hal-hal berkaitan dengan aspirasi perempuan, faktor-faktor yang mempengaruhinya (peluang dan kendala), serta bagaimana perempuan mengambil keputusan dan mengaktualisasikan aspirasinya. Penelitian ini mengambil subyek perempuan muda (usia 25-35 tahun) yang bekerja penuh di suatu instansi formal, dengan posisi staf pelaksana atau lebih tinggi, dengan kemungkinan pengembangan posisi.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan metode pengambilan data wawancara mendalam. Walau penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif, untuk mengungkap data dari dasar, dan tidak dimaksudkan untuk meninjau atau menguji teori/hipotesis tertentu, sebagai landasan berpikir peneliti mencoba mengutip pandangan psikologi humanistik tentang manusia (Maslow dan Allport, 1961) peranan sosialisasi terhadap kepribadian dan aspirasi perempuan (Bern, 1967), kepribadian perempuan yang relasional (Miller; 1976, 1984 dan Surrey, 1984). Berikut ini dikemukakan integrasi dari kerangka teori yang digunakan, yang sekaligus merupakan kerangka kerja penelitian mengenai aspirasi perempuan.



Kontribusi Perempuan di Pemerintah Minim

Senin, 30 Agustus 2010

Kontribusi perempuan di pemerintahan atau eksekutif masih sangat kecil. Hal itu terungkap dari data yang disampaikan Ani Soetjipto dalam Seminar yang bertajuk "Women, Leadership and development in Muslim Communities of southeast Asia: Strategies, Opportunities and Challenges" di Jakarta. 
Ani mencontohkan, dalam tubuh pemerintahan tahun 2004 hingga 2010, jumlah menteri perempuan hanya tiga dari 36 menteri atau hanya 8,3 persen. Sementara, gubernur hanya satu dari 33 gubernur yang ada atau 3 persen. 
Sedangkan yang menjadi kepala daerah tingkat dua, hanya delapan dari 440 kepala daerah di seluruh Indonesia, atau 1,8 persen. Kemudian, wakil kepala daerah tingkat dua, hanya 18 orang dari 440 wakil kepala daerah yang ada. 
Dikatakan Ani, untuk memperkokoh peranserta atau kontribusi perempuan di berbagai bidang, termasuk di pemerintahan, ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan. Antara lain yaitu memperkuat peranan perempuan melalui berbagai kebijakan peraturan perundangan, memperkuat komitmen politik pada kepemimpinan di level atas. 
http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-pemerintah-minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114



Dari data berita di-atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemerintahan wanita masih mendapatkan diskriminasi untuk dapat duduk dalam sebuah institusi pemerintahan. Hal ini sangat memprihatinkan, karena minat yang kurang dan kesempatan yang ada selalu mengutamakan kaum laki-laki.

Hal ini belum seberapa dibandingkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang kerap kali dialami oleh seorang wanita. Indonesia sangatlah memprihatinkan. Wanita hanya dipandang sebagai makhluk lemah dengan pemikiran yang “katanya” tidak seperti wanita.

Saya teringat pada suatu kejadian yang akan selalu membekas di dalam ingatan saya. Waktu itu di sebuah forum diskusi saya sempat beradu argumen dengan seorang pria. Entah karena apa, si pria melontarkan sebuah perkataan yang sangat diskriminatif, yaitu “Saya tidak mau berdebat dengan wanita. Karena wanita itu bodoh dan lemah otaknya”. Disini saya berpikir apakah Islam mengajarkan untuk merendahkan wanita dan membedakan wanita dalam sebuah perdebatan.

Itu semua salah, Rasulullah tidak pernah membedakan tentang wanita dan pria dalam dakwahnya. Rasulullah tidak pernah memandang rendah wanita. Tapi hal ini sungguh terjadi di zaman sekarang. Hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang Rasulullah ajarkan. Jadi sampai kapan dunia akan sadar betapa pentingnya peran wanita dalam kehidupan sehari-hari.

Sering saya menghadapi mereka yang sangat mendiskriminasikan wanita dan menganggap remeh pemikiran wanita. Padahal banyak tokoh-tokoh penting dalam politik adalah seorang wanita, sebut saja Benazir Bhutto. Ia mengalami banyak kecamanan dan dianggap sebagai oposisi pemerintahan karena lantang menyuarakan untuk pembubaran sistem pemerintahan diktator.




Berikut ini adalah artikel mengenai kesetaraan di dunia pendidikan bagi wanita dan pria. Hal yang sangat kontradiktif dalam pemenuhan hak asasi manusia.


Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

Biaya pendidikan yang setiap tahunnya semakin bertambah mahal semakin membebani orangtua siswa. Akibatnya, bagi siswa dari keluarga miskin, sekolah semakin menjadi impian.
Untuk menikmati fasilitasi pendidikan "berkualitas" semakin tidak memungkinkan. Banyak anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah standar. Yang penting, biaya terjangkau oleh kocek pendapatan orangtua mereka.
Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh arus komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa (orangtua siswa) dengan berbagai variasi biaya.
Pendidikan berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.
Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak memperoleh fasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan bentuk perwujudan hak asasi manusia, hak sosial-ekonomi-budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Pemerintah (negara) ini yang telah mengikrarkan diri untuk berkomitmen pada Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi upaya pencapaian pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah.
Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.
Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara seolah lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan justru dilepas sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan pendidikan.
Tidak mengherankan alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang dipatok dalam APBN masih belum memenuhi batas minimal 20 persen.
Minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan memang akan menyebabkan dampak buruk bagi komitmen memfasilitasi hak anak-anak miskin memperoleh pendidikan layak. Akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah.
Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.
Diskriminasi
Ironisnya, kebanyakan anak- anak usia sekolah dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP atau dari SMP ke SMA mayoritas (72,3 persen) adalah siswa perempuan.
Anak-anak perempuan usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah selain karena minimnya biaya pendidikan dari keluarga, juga karena masih terjerat cara pandang patriarkis orangtua.
Orangtua anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah. Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.
Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah.
Andai kata pun anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin bisa meneruskan studi sampai jenjang sekolah menengah, mereka terpuruk menjadi pekerja sektor informal berupah murah.
Membaca realitas di atas, maka sebenarnya dunia pendidikan di negeri ini telah mendiskriminasi hak-hak anak perempuan.
Pendidikan alternatif
Untuk itulah saat ini perlu bagi kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan jender.
Langkah-langkahnya adalah, pertama, perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan sekolah alternatif yang sensitif jender sehingga ada penghormatan terhadap hak-hak anak-anak perempuan.
Kedua, perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mendesak adanya plafon subsidi anggaran pendidikan yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa melanjutkan studi setidaknya sampai lulus jenjang sekolah menengah atas.
Ketiga, perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Keempat, kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses dan kegiatan belajar-mengajar.


-------

Lalu bagaimana Islam memandang wanita dengan politik dan peranannya dalam pemerintahan?


Wanita dan politik dalam kacamata Islam

Makna Politik dalam Islam

Menurut Ibnu Qayyim politik adalah sebuah upaya mengantarkan manusia ke kehidupan yang lebih dekat dengan perbaikan dan jauh dari kerusakan. Kemudian Hasan Al Banna mengatakan, politik adalah hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat. Sedangkan dalam kamus Islam. Siasah adalah membudayakan manusia dengan cara membimbingnya ke jalan keselamatan untuk kehidupan dunia dan akhirat serta mengatur tata kehidupan umum dengan aturan-aturan Islam yang adil dan istiqomah.

Demikianlah berbagai definisi politik menurut beberapa tokoh pemikir Islam. Masih banyak lagi definisi politik yang lainnya. Namun jika kita teliti secara seksama kita akan menemukan kata kunci dari definisi polik menurut Islam yakni perbaikan manusia ke arah yang lebih baik dengan aturan Islam. Jadi politik bukan hanya mengantarkan seorang kepada kursi eksektif maupun legislatif saja, tetapi politik juga mengharapkan agar orang yang menjadi wakil rakyat melaksanakan perbaikan manusia ke arah yang lebih baik.

Jika kita melihat situasi yang sekarang, maka akan terjadi sebuah hal yang sangat kontradiksi sekali, di mana para elit politik yang seharusnya mengikuti pemilu dengan semangat membawa kebaikan malah melakukan suatu tindakan yang semakin menambah masalah bangsa. Kita lihat konflik internal dalam parpol yang memperebutkan kursi legislatif, bahkan ada yang saling melakukan tindakan yang saling menjatuhkan lawan politik. Bukan saja lawan politik dari parpol yang berbeda, tetapi sesama kader sebuah parpol pun saling menjatuhkan. Ini adalah gambaran politik saat ini yang saya lihat sangat jauh sekali dari pandangan Islam.

Landasan Syar’i Wanita Berpolitik

Berbicara tentang landasan syar’i tentunya kita tidak terlepas dari Alquran dan Hadist. Dalam Al-quran Surah An-Nisa ayat 124 yang artinya ”Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.

Pada ayat di atas telah dikatakan bahwa siapapun yang berbuat amal saleh, baik laki-laki dan wanita, maka ia masuk ke dalam surga. Artinya ada kedudukan yang sama yang dimiliki seorang wanita dengan laki-laki. Jika kita lihat definisi politik menurut Islam sebagaimana di atas, adalah semangat membawa perbaikan bagi umat maka dengan adanya wanita ikut dalam politik (parlemen), merupakan sebuah usaha dari wanita itu untuk berbuat kebajikan amal saleh. Jadi tidak ada masalah jika wanita ikut dalam politik.

Para shahabiyah pada zaman Rasulullah telah memberikan kita beberapa contoh peranan mereka ketika berpolitik. Seperti Nusaibah terlibat dalam dua kali Bai’ah, Syifa menjadi kepala pasar pada masa Khalifah Umar, Ummu Salamah memberikan saran pada Rasulullah pada perjanjian Hudaibiyah, dan lain-lain. Ini menandakan peran wanita dalam politik Islam juga diperhatikan.

Jika kita melihat kondisi saat ini setidaknya ada beberapa peranan penting yang bisa dilakukan oleh seorang wanita dalam parlemen. Di antaranya, pertama, menjamin keterwakilan kepentingan perempuan, anak dan keluarga dalam produk perundang-undangan. Ini merupakan hal pokok yang bisa dilakukan jika berada di parlemen, setidaknya aspirasi tentang kaum wanita bisa tersalurkan dalam kebijakan-kebijakan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah.

Saat ini kita bisa melihat begitu banyak para wanita dan anak-anak yang menjadi pegawai pabrik, banyaknya wanita Indonesia yang mejadi TKI dan TKW di negeri di negeri tetangga. Hal ini adalah sebagian kecil masalah perempuan yang bisa disalurk an didalam parlemen.

Kedua, membangun iklim politik yang lebih baik dan ramah. Beberapa tahun lalu menteri keuangan Indonesi Sri Mulyani mendapatkan penghargaan sebagai Menteri Keuangan yang berhasil mengatasi permasalahan ekonomi bangsa Indonesia, dan masih banyak lagi keberhasilan wanita dalam menjalani amanah di pemerintahan. Ini bukti bahwa perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dan mampu menciptkan iklim politik yang baik dan ramah di dunia perpolitikan.

Kedua peranan di atas merupakan sebagian peranan perempuan dan politiknya dalam pandangan Islam. Yang perlu menjadi catatan penting bagi kita adalah Islam menginginkan politik sebagai sebuah usaha perbaikan dan membimbing manusia ke arah yang lebih baik, menuju kepada kehidupan dunia dan akhirat . Siapapun berhak dan mempunyai tanggung jawab untuk melakukan perbaikan politik di negeri ini, baik dia laki-laki maupun perempuan. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan politik kepada masyarakat agar menjadi lebih rasional dalam melakukan aktivitas politik harus terus dilakukan, jangan biarkan politik uang membayangi politik bangsa ini.

Penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa wanita tidak dilarang untuk ikut andil dalam dunia politik. Lalu bagaimana jika wanita ikut andil adalam pemerintahan? Baca wawancara dengan Imam Khomeini di bawah ini.


Imam Khomeini: Islam Anti Kediktatoran

“Shabestan — Pada tanggal 23-1-1679, Imam Khomeini ra pernah diwawancarai oleh dua koran: Ettelaat dan Kayhan ketika ia masih disaingkan di Paris. Dalam wawancara ini, ia menjawab seluruh pertanyaan yang dilontarkan berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan Revolusi Islam Iran. Dewan Revolusi, swastanisasi industri, kebebasan berpendapat, kebebasan berpartai, peran wanita, hak kepemilikan dalam pemerintahan Islam, dan lain sebagainya merupakan tema-tema yang sempat dilontarkan. Salah satu pertanyaan wartawan berkisar pada isu merebak yang mengklaim bahwa “sandal kediktatoran” akan menggantikan posisi “sepatu kediktatoran”. Imam Khomeini ra menegaskan, Islam tidak mengakui kediktatoran.”

Petikan wawancara tersebut adalah berikut ini 


Wartawan: Setelah Anda kembali ke Iran yang menurut rencana akan dilaksanakan pada hari Jumat mendatang, apakah tindakan pertama yang akan Anda ambil? Apakah anggota Komite Revolusi Pemerintahan Islam akan diumumkan sebelum segala sesuatu yang lain atau tidak?

Imam: Tindakan pertama yang akan saya lakukan adalah nasihat kepada rakyat Iran. Insya Allah bila memungkinkan, kami akan menguraikan prinsip jalan kami di Bahesyt-e Zahra. Seluruh tindakan yang harus dilakukan sebelum segala sesuatu akan saya jelaskan nanti.

Wartawan: Apakah struktur Dewan Revolusi akan terbentuk dari kalangan pekerja, cendekiawan revolusioner Muslim, dan para pembesar daerah? Ataukah dewan ini akan didominasi oleh mayoritas kalangan ulama?


Imam: Tidak! Mayoritas anggota dewan ini tidak akan dipenuhi oleh kalangan ulama. Kalangan ulama, sebagaimana layaknya kelompok masyarakat yang lain, juga hanya memiliki wakil di dewan ini.

Wartawan: Jika mungkin, tolong Anda jelaskan secara ringkas garis-garis besar pemerintahan Islam dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Imam: Hal ini adalah masalah-masalah yang tidak dapat saya jelaskan sekarang bagi Anda. Islam akan menghadiahkan kebebasan dan juga akan memberikan khusus terhadap masalah ekonomi. Seluruh kebutuhan sebuah negara juga akan memperoleh perhatian khusus. Para ahli harus pada masing-masing bidang harus mengambil sikap yang tepat dan tanggap untuk menangani masalah ini.

Wartawan: Apakah maksud Anda bahwa dalam pemerintahan Islam, swastanisasi merupakan sebuah tindakan yang tak terelakkan?

Imam: Masalah ini juga harus dipelajari dengan seksama.

Wartawan: Bagaimana kondisi kaum minoritas yang hidup di Iran dalam pemerintahan Islam?

Imam: Kaum minoritas dalam pandangan Islam harus dihormati. Sebgaimana layaknya anggota bangsa yang lain, kaum minoritas juga bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan sejahtera dan tidak boleh diganggu.

Wartawan: Berkenaan dengan kebebasan berpendapat dan berakidah, apakah batasan-batasan yang ingin Anda tetapkan? Menurut pendapat Anda, apakah harus ada pembatasan atau tidak?

Imam: Jika tidak membahayakan kestabilan bangsa, setiap pendapat dan pandangan bisa diutarakan. Hal-hal yang membahayakan kestabilan bangsa tidak layak diberi kebebasan.

Wartawan: Apakah maksud Anda, seluruh partai bisa bebas atau tidak?

Imam: Seluruh rakyat bebas, kecuali partai yang bertentangan dengan kemaslahatan negara.

Wartawan: Bagaimana peran kaum wanita dalam pemerintahan Islam? Sebagai contoh, apakah mereka bisa ikut serta aktif dalam urusan negara? Apakah mereka bisa menjadi seorang wakil atau menteri? Tentunya apabila mereka memeliki kelayakan.

Imam: Berkenaan dengan masalah ini, pemerintahan Islam telah menentukan tugas-tugas tertentu. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk melontarkan pandangan sekaitan dengan masalah ini. Kaum wanita sebagaimana kaum pria memiliki andil besar dalam membangun pemerintahan Islam masa depan. Mereka memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Dalam perjuangan terakhir bangsa Iran, kaum wanita Iran juga memiliki saham besar sebagaimana kaum pria. Kami akan memberikan aneka ragam kebebasan bagi kaum wanita. Tentunya, kami juga akan mencegah segala bentuk kerusakan. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita.

Wartawan wanita: Karena Anda telah menerima saya sebagai seorang wanita, hal ini membuktikan bahwa revolusi kita adalah sebuah revolusi yang maju. Sekalipun banyak orang berusaha untuk menunjukkan bahwa revolusi ini adalah sebuah revolusi yang terbelakang. Menurut Anda, apakah kaum wanita harus mengenakan hijab?

Imam: Anda mengatakan bahwa saya telah menerima kedatangan Anda. Sebenarnya saya tidak menerima kedatangan Anda. Anda sendiri yang telah datang ke tempat dan saya tidak tahu bahwa Anda akan datang ke tempat ini. Kedatangan Anda ke tempat ini juga bukan bukti bahwa Islam adalah agama yang maju. Kemajuan juga tidak memiliki arti yang dipahami oleh sebagian kaum wanita atau kaum pria kita. Kemajuan bergantung kepada kesempurnaan insani dan jiwa, serta fungsi seseorang dalam negara dan terhadap rakyat. Kemajuan bukannya kita kita bisa pergi nonton di sinema atau pergi berdansa. Semua ini adalah model-model kemajuan yang telah diciptakan oleh mereka untuk Anda. Sebenarnya mereka telah menjerumuskan Anda ke belakang. Jelas, kita harus mengganti semua ini. Anda bebas dalam mengerjakan tindakan dan kerjaan yang benar. Anda bisa pergi sekolah ke perguruan tinggi dan melakukan tindakan yang benar. Seluruh rakyat dalam masalah ini bebas bertindak. Akan tetapi, jika mereka ingin melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan harga diri insani atau membahayakan stabilitas rakyat, tentu tindakan ini akan dicegah. Dan hal ini adalah bukti sebuah kemajuan.

Wartawan: Bagaimanakah bentuk hak kepemilikan, khususnya hak kepemilikan tanah, dalam pemerintahan Islam?

Imam: Hal ini akan jelas nanti.

Wartawan: Menurut Anda, bagaimanakah posisi surat kabar nantinya?

Imam: Koran-koran yang tidak membahayakan stabilitas rakyat dan koran-koran yang tulisannya tidak menyesatkan bebas beraktifitas.

Wartawan: Ada beberapa negara yang sekarang ini membela Syah Pahlevi secara terang-terangan. Jika mereka menyatakan penyesalan, apakah Anda akan melanjutkan hubungan politik dengan mereka?

Imam: Iya, kecuali Israel. Israel dikecualikan. Begitu pula Afrika Selatan dan negara-negara yang membela diskriminasi ras dan suku.

Wartawan: Dalam banyak kesempatan, Anda menyatakan bahwa Israel adalah musuh Islam. Apakah pemerintahan Islam mungkin menyatakan perang dengan negara ini?

Imam: Tergantung tuntutan masa.

Wartawan: Jika ada negara-negara di dunia Islam yang ingin mengikuti jejak Iran untuk membentuk Republik Islam, apakah mereka harus menerima mazhab Syiah atau tidak?

Imam: Tidak. Tidak ada kewajiban dalam menganut mazhab.

Wartawan: Sebagian kelompok kecil, melalui surat dan telpon, mengutarakan kepada kami bahwa dari dominasi “sepatu kediktatoran” kita akan digiring ke naungan “sandal kediktatoran”.

Imam: Mereka adalah para kaki tangan Syah Pahlevi. Mereka telah bertahun-tahun mengulang-ulangi ucapan ini. Seluruh ucapan ini telah didiktekan oleh Syah kepada mereka. Mereka mengutarakan hal ini kepada Anda karena masih ingin mengembalikan Syah (ke Iran). Katakan kepada mereka, Syah tidak akan pernah kembali lagi. Jika Anda melihat pemerintahan Islam, Anda akan temukan bahwa kediktatoran sama sekali tidak memiliki tempat dalam Islam.

Wartawan: Dalam rangka kembali ke Iran, jika Anda berhadapan dengan kudeta militer, apa yang akan Anda lakukan?


Imam: Tidak ada. Kami akan selalu berjuang. (Sumber: Shahifeh-e Nur, jld. 5, hlm. 519-522)

Wawancara di atas adalah bagaimana seharusnya Islam menanggapi secara bijaksana tentang peran penting wanita dalam dunia politik dan pemerintahan. Wanita bisa dikatakan tidak diperkenankan untuk menjadi pemimpin suatu bangsa. Tapi wanita tidak dilarang untuk ikut ambil andil dalam pemerintahan dan dunia politik. Karena politik merupakan unsur penting dalam bermasyarakat. Dan hal yang harus dapat dipelajari dengan pola pikir terbuka.

Karena sesungguhnya Allah adalah yang Maha Adil dan membenci ketidakadilan bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Maka berlaku adil-lah tanpa membedakan jenis kelamin, asal usul, strata, dan garis keturunan.

"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)


Semoga tulisan ini mampu membuka wacana baru dalam diri kita. Dan menambah pengetahuan kita dalam menyikapi suatu kondisi.

Mohon maaf jika ada perkataan atau pun tulisan yang kurang berkenan. Khilaf adalah milik saya dan kesempurnaan adalah milik Allah 'Azza wa Jalla. Semoga kita selalu ada di dalam naungan kasih-Nya.


Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sabtu, 12 Februari 2011

Aku merindukanmu


Aku selalu merindukanmu...
Tanpa ada batas waktu akannya...
Biarkan aku dapat mendekap cintamu...
Agar aku dapat menyimpan hatimu...

Ingin dapat aku sampaikan berjuta impian...
Agar kau selalu tahu getaran itu selalu nyata untuk mu...
Harapku padamu kasih...
Dapat bersanding di hari kelabu suci...

Tangis air mata yang terurai....
Dibiarkan terlena dalam dekapan bidadari kegelapan...
Hingga pelangi temani pagi hari yang biru...

Jesuit Reductions

A Jesuit Reduction was a type of settlement for indigenous people in Latin America created by the Jesuit Order during the 17th and 18th centuries. In general, the strategy of the Spanish and Portuguese Empires was to gather native populations into centers called Indian Reductions (reducciones de indios), in order to Christianize, tax, and govern them more efficiently. The Jesuit interpretation of this strategy was implemented primarily in an area that corresponds to modern day Paraguay amongst the Tupi-Guarani peoples. Later reductions were extended into areas now part of Argentina, Brazil, and Bolivia.





Jesuit reductions were different from the reductions in other regions because the indigenous people (Indians) were expected to convert to Christianity but not necessarily to European culture. Under the leadership of both the Jesuits and native caciques, the reductions achieved a high degree of autonomy within the Spanish and Portuguese colonial empires. With the use of Indian labour, the reductions became economically successful. When their existence was threatened by the incursions of Bandeirante slave traders, Indian militia were created that fought effectively against the colonists. The resistance by the Jesuit reductions to slave raids, as well as their high degree of autonomy and economic success, have been cited as contributing factors to the expulsion of the Jesuits from the Americas in 1767.

The Jesuit reductions present a controversial chapter of the evangelisational history of the Americas, and are variously described as jungle utopias or as theocratic regimes of terror.





History



In the 16th century, priests of different religious orders set out to evangelize the Americas, bringing Christianity to indigenous communities. The colonial governments and missionaries agreed on the strategy of gathering the often nomadic indigenous populations in larger communities called reductions in order to more effectively govern, tax, and Christianize them. Reductions generally were also construed as an instrument to make the Indians adopt European lifestyles and values, which was not the case in the Jesuit reductions, where the Jesuits allowed the Indians to retain many of their pre-colonial cultural practices. In Mexico the policy was called congregación, and also took the form of the hospitals of Vasco de Quiroga, and the Franciscan Missions of California, and in Portuguese Brazil they were known as aldeias. Legally, under colonial rule, Indians were classified as minors, in effect children, to be protected and guided to salvation by European missionaries.





The Jesuits, only formally founded in 1540, were relatively late arrivals in the New World, from about 1570, especially compared to the Dominicans and Franciscans, and therefore had to look to the frontiers of colonization for mission areas. The Jesuit reductions originated in the early seventeenth century when the Bishop Lizarraga asked for missionaries for Paraguay. In 1609, acting under instructions from Phillip III, the Spanish governor of Asunción made a deal with the Jesuit Provinical of Paraguay. The Jesuits agreed to set up hamlets at strategic points along the Paraná river, that were populated with Indians and maintained a separation from Spanish towns. The Jesuits were to "enjoy a tax holiday for ten years" which extended longer. This mission strategy continued for 150 years until the Jesuits were expelled in 1767. Fundamentally the purpose, as far as the government was concerned, was to safeguard the frontier with the reductions where Indians were introduced to European culture. In 1609 three Jesuits began the first mission in San Ignacio Guazú. In the next 25 years, 15 missions were founded in the province of Guairá—but since some of these were within the Portuguese area they were subjected to frequent destructive raids by Bandeirantes of São Paulo to enslave the Indians. In 1631, most of the reductions moved west into Uruguay, which was under Spanish jurisdiction, in some cases to be re-opened from the 1680s onwards



The missions also secured the Spanish Crown's permission, and some arms, to raise militias of Indians to defend the reductions against raids. The bandeirantes followed the reductions into Spanish territory and in 1641 the Indian militia stopped them at Mbororé. The militias could number as many as 4,000 troops, and their cavalry was especially effective, wearing European-style uniforms and carrying bows and arrows as well as muskets. In the Treaty of Madrid (1750) the Spanish ceded to the Portuguese territories including the Misiones Orientales, reductions now in Brazil, threatening to expose the Indians again to the far more oppressive Portuguese system. The Jesuits complied, trying to relocate the population across the Uruguay river as the treaty allowed, but the Guarani militia under the mission-born Sepé Tiaraju resisted in the Guarani War, and defeated Spanish troops, obliging them in 1754 to sign an armistice in Guarani - a victory that helped to ensure the eventual defeat of the reductions. The war was ended when a larger force of 3,000 combined Spanish and Portuguese troops crushed the revolt in 1756, with Guarani losses in battles and massacres afterwards of over 1,500.





The reductions came to be considered a threat by the secular authorities (as well as by the indigenous people), and caught up in the growing attack on the Jesuits in Europe for unrelated reasons. The economic success of the reductions, which was considerable, although not as great as it has often been described, combined with the Jesuits' independence, became a cause of fear. The reductions became considered by some culturally biased philosophies as ideal communities of noble savages, and were praised as such by Montesquieu in his L'Esprit des Lois (1748), and even by Rousseau, no friend of the church. Their intriguing story has continued to be the subject of some romanticizing, as in the film The Mission (1986), whose story relates to the events of the 1750s, shown on a miniature scale. It is generally accepted by modern historians that the reasons for the contemporary opposition to them were political, humanitarian, and economic.When the Jesuits were expelled from the Spanish realm in 1767, the reductions slowly died out, becoming victims of slave raids or being absorbed into European society. Some of the Reductions have continued to be inhabited as towns while most have been abandoned and remain only as ruins. Córdoba, Argentina, the largest city associated with the reductions, was atypical as a Spanish settlement predated the Jesuits, and functioned as a centre for the Jesuit presence with a novitiate centre, and a college that is now the local university. The Córdoba mission was taken over by the Franciscans in 1767. Many have been declared UNESCO World Heritage sites, including six of the Jesuit Missions of the Chiquitos in Bolivia, and others in Brazil, Argentina and Paraguay. There are also two creole languages, Língua Geral and Nheengatu, originating in the reductions and based on Guaraní, Tupi and Portuguese.





Mission life


At the height of the reductions there were around 40 different communities that were home to as many as 150,000 Indians, most of whom were Guaraní, Tupi and Chiquitos. Reductions were laid out according to a standardised plan: the main buildings, like the church, college and churchyard were concentrated around a wide square, with houses facing the other three sides. Each village also provided a house for widows, a hospital, and several warehouses. In the centre of the square, there was a cross and a statue of the mission's patron saint. The reductions were ruled by indigenous chiefs who served as the reduction's governor, but were controlled by the Jesuits. There was a minimum of two Jesuits in a reduction, with more for larger ones. The social organization of the reductions has often been described as extremely efficient; most were self-supporting and even produced surpluses of goods, which they traded to outside communities, which laid the foundation of the belief that Jesuits were guarding immense riches acquired through Indian labour. The main traded produce was the hides of their cattle and yerba mate, leaves drunk somewhat like tea. Initially these were collected from the wild, but later cultivated. A number of trades and skills were taught to some Indians, including even printing, to produce mostly religious texts in indigenous languages, some illustrated by engravings by indigenous artists.

In reality the communities were economically successful but hardly constituted any important source of income for the Jesuit order. The degree to which the Jesuits controlled the indigenous population for which they had responsibility and the degree to which they allowed indigenous culture to function is a matter of debate, and the social organization of the reductions have been variously described as jungle utopias or as theocratic regimes of terror.



The main buildings, especially the churches, were often substantial Baroque constructions, made by trained indigenous craftsmen, that often remain impressive after over two centuries of abandonment, though the elaborate carved wood interiors have vanished in these cases. The first buildings were usually made in wood, which was sometimes covered with stucco decoration imitating stone Baroque architecture.[11] Later, if resources allowed, actual stone buildings would follow, sometimes very large. The Bolivian missions have the best surviving wood and adobe churches. Father Martin Schmid (1694–1772), a Swiss Jesuit who was a leading figure in the reductions, was both an architect and a composer, and is usually given much of the responsibility for both the later architecture and the remarkable musical life of the reductions.





Jesuit Reductions by country


Location of the most important reductions in Argentina, Brazil and Paraguay, with present political divisions.

Argentina

San Ignacio Mini in Misiones Province
Nuestra Señora de Santa Ana in Misiones Province
Nuestra Señora de Loreto in Misiones Province
Santa María la Mayor in Misiones Province
Jesuit Block and Estancias of Córdoba in Córdoba
Bolivia

San Xavier
Concepción
San Ignacio de Velasco
Santa Ana de Velasco
San Miguel de Velasco
San Rafael de Velasco
San José de Chiquitos
Brazil

São Miguel das Missões
Paraguay

La Santisima Trinidad de Paraná
http://en.wikipedia.org/wiki/Jesuit_Reductions

Hutterite

Hutterites (German: Hutterer) are a communal branch of Anabaptists who, like the Amish and Mennonites, trace their roots to the Radical Reformation of the 16th century. Since the death of their founder Jakob Hutter in 1536, the beliefs of the Hutterites, especially living in a community of goods and absolute pacifism, have resulted in hundreds of years of odyssey through many countries. Nearly extinct by the 18th and 19th centuries, the Hutterites found a new home in North America. Over 125 years their population grew from 400 to around 42,000.



History



Originating in the Austrian province of Tyrol in the 16th century, the forerunners of the Hutterites migrated to Moravia to escape persecution. There, under the leadership of Jakob Hutter, they developed the communal form of living based on the New Testament books of the Acts of the Apostles (Chapters 2 (especially Verse 44), 4, and 5) and 2 Corinthians—which distinguishes them from other Anabaptists such as the Amish and Mennonites.



A basic tenet of Hutterian society has always been absolute pacifism, forbidding its members from taking part in military activities, taking orders, wearing a formal uniform (such as a soldier's or a police officer's) or contributing to war taxes. This has led to expulsion or persecution in the several lands in which they have lived. In Moravia, the Hutterites flourished for over a century, until renewed persecution caused by the Austrian takeover of the Czech lands forced them once again to migrate, first to Transylvania, and, then, in the early 18th century, to Ukraine, in the Russian Empire. Some Hutterites converted to Catholicism and retained a separate ethnic identity in Slovakia as the Habans until the 19th century (by the end of World War II, the Haban group had become essentially extinct). At this time the number of Hutterites had fallen to around 100.[1] In Ukraine, the Hutterites enjoyed relative prosperity, although their distinctive form of communal life was influenced by neighboring Russian Mennonites. In time, though, Russia had installed a new compulsory military service law, and the pressure was on again.



After sending scouts to North America in 1873 along with a Mennonite delegation, three groups totaling 1,265 individuals migrated to North America between 1874 and 1879 in response to the new Russian military service law. Of these, 400 identified as Eigentümler and shared a community of goods. Most Hutterites are descended from these 400. Named for the leader of each group (the Schmiedeleut, Dariusleut, and Lehrerleut, leut being based on the German word for people), they settled initially in the Dakota Territory; later, Dariusleut colonies were established in central Montana. Here, each group reestablished the traditional Hutterite communal lifestyle.



Several state laws were enacted seeking to deny Hutterites religious legal status to their communal farms (colonies). Some colonies were disbanded before these decisions were overturned in the Supreme court. By this time, many Hutterites had already established new colonies in Alberta and Saskatchewan.



During World War I, the pacifist Hutterites suffered persecution in the United States. In the most severe case, four Hutterite men subjected to military draft who refused to comply were imprisoned and tortured. Ultimately, two died at Leavenworth Military Prison from mistreatment, after the Armistice had been signed ending the war.



The Hutterite community responded by abandoning Dakota and moving 17 of the 18 existing American colonies to the Canadian provinces of Alberta, Manitoba, and Saskatchewan. With the passage of laws protecting conscientious objectors, however, some of the Schmiedeleut ultimately returned to the Dakotas beginning in the 1930s, where they built and inhabited new colonies. Some of the abandoned structures from the first wave still stand in South Dakota.





In 1942, alarmed at the influx of Dakota Hutterites buying copious tracts of land, the province of Alberta passed the Communal Properties Act, severely restricting the expansion of the Dariusleut and Lehrerleut colonies. The act was repealed in 1973, allowing Hutterites to purchase land. This act resulted in the establishment of a number of new colonies in British Columbia and Saskatchewan and at the same time there was expansion into Montana and eastern Washington in the 1940s and 1950s. Today, approximately three of every four Hutterite colonies are in Canada (mostly in Alberta, Manitoba and Saskatchewan), with almost all of the remainder in the United States (primarily South Dakota and Montana). The total Hutterite population in both countries is generally estimated between forty and fifty thousand.

For a few years in the early 1950s, and in 1974–1990, the Arnoldleut (or Bruderhof Communities) were recognized as Hutterites. Although most Hutterites live in the Midwestern United States and in Western Canada, Hutterite colonies have been established in Australia, Nigeria and Japan.



Society





Hutterite communes, called "colonies", are all rural; many depend largely on farming or ranching, depending on their locale for their income. More and more colonies are getting into manufacturing as it gets harder to make a living on farming alone. The colony is virtually or literally self-sufficient, constructing its own buildings, doing its own maintenance and repair on equipment, making its own clothes, etc.



Governance and leadership



Hutterite colonies are male-managed with women participating in traditional roles such as cooking, medical decisions, and selection and purchase of fabric for clothing. Each colony has three high-level leaders. The two top-level leaders are the Minister and the Secretary. A third leader is the Assistant Minister. The Minister also holds the position as President in matters related to the incorporation of the legal business entity associated with each colony. The Secretary is widely referred to as the colony "Boss" or "Business Boss" and is responsible for the business operations of the colony—book-keeping, cheque-writing and budget organizer. The Assistant Minister helps in church leadership (preaching) responsibilities, but will often also be the "German Teacher" for the school-aged children.





The Secretary's wife sometimes holds the title of Schneider (from German "tailor") and thus she is in charge of clothes making and purchasing the colony's fabric requirements for making of all clothing. The term "boss" is used widely in colony language. Aside from the Secretary who functions as the business boss, there are a number of other significant "boss" positions in most colonies. The most significant in the average colony is the "Farm Boss". This person is responsible for all aspects of overseeing grain farming operations. This includes crop management, agronomy, crop insurance planning and assigning staff to various farming operations.





Beyond these top-level leadership positions there will also be the "Hog Boss", "Dairy Boss" and so on, depending on what agricultural operations exist at the specific colony. In each case, these individuals are fully responsible for their area of responsibility and will have other colony residents working in their area.



The Minister, Secretary and all "boss" positions are elected positions and many decisions are taken to a vote before they are implemented.



The voting and decision-making process at most colonies is based upon a two-tiered structure including a council—usually seven senior males—and the voting membership which includes all the married men of the colony. For "significant" decisions the council will first vote and, if passed, the decision will be carried to the voting membership.



This structure has resulted in a democratic culture in most colonies. For example, Ministers and Secretaries that do not follow the democratically selected decisions of a colony can be removed by a similar vote of a colony. Although there is a wide range of leadership cultures and styles between the three main colony varieties and in some cases very dominant ministers or secretaries may hold greater sway over some colonies than others, the general prevailing culture in most colonies is strongly democratic.



Women and children hold no formal vote in decision-making power in a colony. They often hold influence on decision-making through the informal processes of a colony's social framework.



Overarching all internal governance processes within a single colony is the broader "Bishop" structure of leaders from across a "branch" (Lehrer-, Darius- or Schmiedeleut) such that all colonies within each branch are subject to the broader decision-making of that branch's "Bishop" council. A minister of a colony who does not ensure his colony follows broader "Bishop" council decisions can be removed from his position.



Community ownership




Hutterites practice a near-total community of goods: all property is owned by the colony, and provisions for individual members and their families come from the common resources. This practice is based largely on Hutterite interpretation of passages in chapters 2, 4, and 5 of Acts, which speak of the believers "having all things in common". Thus the colony owns and operates its buildings and equipment like a corporation. Housing units are built and assigned to individual families but belong to the colony and there is very little personal property. Meals are taken by the entire colony in a dining or fellowship room. Men and women sit in a segregated fashion. Special occasions sometimes allow entire families to enjoy meals together.



Daughter colonies



Each colony may consist of about 10 to 20 families, with a population of around 60 to 250, which falls within the limits of Dunbar's number. When the colony's population grows near the upper limit and its leadership determines that branching off is economically and spiritually necessary, they locate, purchase land for, and build a "daughter" colony.



The process by which a colony splits to create a new daughter colony varies across the branches of colonies. In Lehrerleut, this process is quite structured, while in Darius and Schmiedeleut the process can be somewhat less structured. In a Lehrerleut colony, the land will be purchased and buildings actually constructed before anyone in the colony knows who will be relocating to the daughter colony location. The final decision as to who leaves and who stays will not be made until everything is ready at the new location. During the construction process, the colony leadership splits the colony up as evenly as possible, creating two separate groups of families. The two groups are made as close as possible to equal in size, taking into account the practical limits of family unit sizes in each group. Additionally, the leadership must split the business operations as evenly as possible. This means deciding which colony might take on, for example, either hog farming or dairy. Colony members are given a chance to voice concerns about which group a family is assigned to, but at some point, a final decision is made. This process can be very difficult and stressful for a colony, as many political and family dynamics become topics of discussion, and not everyone will be happy about the process or its results.



Once all decisions have been made, the two groups might be identified as "Group A" and "Group B". The last evening before a new group of people is to leave the "mother" colony for the "daughter" colony, two pieces of paper, labeled "Group A" and "Group B", are placed into a hat. The minister will pray, asking for God's choice of the paper drawn from the hat, and will draw one piece of paper. The name drawn will indicate which group is leaving for the daughter colony. Within hours, the daughter colony begins the process of settling a brand new site.



This very structured procedure differs dramatically from the one that might be used at some Darius and Schmiedeleut colonies, where the split can sometimes be staggered over time, with only small groups of people moving to the new location at a time.



Agriculture and manufacturing





Hutterite colonies often own large tracts of land and, since they function as a collective unit, can afford top-of-the-line farm implements. Some also run industrial hog, dairy, turkey, chicken, and egg production operations. An increasing number of Hutterite colonies are again venturing into the manufacturing sector, a change that is reminiscent of an early period of Hutterite life in Europe. Before the Hutterites emigrated to North America, they relied on manufacturing to sustain their communities. It was only in Russia that the Hutterites learned to farm from the Mennonites. Due to the increasing automation of farming (large equipment, GPS-controlled seeding, spraying, etc), farming operations are much more efficient and Hutterites are again looking to manufacturing to provide work for their people. Many of the colonies, who have gone into manufacturing, have realized that they need to provide their members with a higher level of education.



A major driving force for Hutterite leadership today is associated with recognizing that land prices have risen dramatically (in Alberta and Saskatchewan specifically), driven by the oil and gas industry, which creates the need to have a greater amount of cash available to buy land when it comes time for a colony to split. The splitting process for a colony requires the purchase of land and the construction of buildings. This can require funds in the range of $20 million CDN in 2008 terms, upwards of $10M for land and another $10M for buildings and construction. This massive cash requirement has now forced leadership to re-evaluate how a colony can produce the levels of funds needed to support expansion. New project ideas that colonies have engaged in include plastics manufacturing, metal fabrication, cabinetry, and stone or granite forming, just to name a few. One unique project came together in South Dakota. A group of 44 colonies joined together to create a turkey processing center[8] where their poultry can be processed. The plant hired non-Hutterite staff to process the poultry for market. This plant helped to secure demand for the colony's poultry.



Use of technology



Hutterites attempt to remove themselves from the outside world (televisions, radios, tapes, CD's, etc. are forbidden), and up until recently, many of the Lehrerleut and Dariusleut (Alberta) colonies still only had one central phone. The Schmiedeleut had made this transition earlier, where each household had a telephone along with a central phone for the colony business operation. Phones are used for both business and for social purposes. Cell phones are also very common among all three groups today. Text messaging has made cell phones particularly useful for Hutterian young people wishing to keep in touch with their peers. Some Hutterite homes have computers and radios; a minority of communities (mostly, liberal Schmiedeleut colonies) have some filtered Internet access. Farming equipment technology generally matches or exceeds that of non-Hutterite farmers. Lehrerleut colonies have recently struggled with the proliferation of computers and have clamped down such that computers are no longer allowed in households and their use is limited to only business and farming operations including animal, feed and crop management. But as the world evolves more and technology is used more and more for work and communication, many Hutterite young people use computers, photos and internet for keeping in contact with their friends, relatives and meeting new people outside the colony.



Education



Rather than send their children to an outside school, Hutterites build a schoolhouse onsite at the colony to fulfill a minimum educational agreement with the Province or State, which is typically run by an outside hired educator who teaches the basics including English. The "German" education of colony children is the responsibility of the "Assistant Minister" at some colonies, but most colonies elect a "German Teacher," who in most cases also takes care of the colony garden. His job entails training in German language studies, Bible teaching, and scripture memorization. The German Teacher will cooperate with the outside teacher in relation to scheduling and planning.

Major branches

Three different branches of Hutterites live in the prairies of North America, the Schmiedeleut, the Dariusleut and the Lehrerleut. Though all three "leut" are Hutterites, there are some distinctive differences, including style of dress and organizational structure.However, the original doctrine of all three groups is identical. The differences are mostly traditional and geographic.

There are two other related groups. The Arnoldleut - also referred to as the Bruderhof Communities or presently, Church Communities International - is a group of more recent origin which, prior to 1990, were accepted by the Dariusleut and Lehrerleut groups as a part of the Hutterite community. The Schmiedeleut were divided over the issue. The other is the Prairieleut - Hutterites that lived in town rather than in colonies (but this population has likely long since faded into history).

Since 1992, the Schmiedeleut, until that point the largest of the three "leut," have been divided into "Group One" and "Group Two" factions over controversies including the Arnoldleut/Bruderhof issue and the leadership of the Schmiedeleut elder. This highly acrimonious division has cut across family lines and remains a serious matter almost two decades later. Group One colonies generally have relatively more liberal positions on issues including higher education, ecumenical and missions work, musical instruments, media, and technology.

Photography

Alberta Hutterites had originally won the right to avoid having their photograph taken for their drivers' licenses. In May 2007, the Alberta Court of Appeal ruled that the photograph requirement violates their religious rights and that driving was essential to their way of life.[9] The Wilson Springs colony based their position on the belief that images are prohibited by the Second Commandment.[10] About eighty of the photo-less licenses were in use at the time of the decision.[11] Besides the Alberta Hutterite groups (Darius and Lehrerleut), a handful of colonies in Manitoba (Schmiedeleut) do not wish their members to be photographed for licenses or other identity documents.

However, in July 2009 the Supreme Court of Canada ruled 4-3 that a Hutterite community must abide by provincial rules that make a digital photo mandatory for all new driver's licences as a way to prevent identity theft.

Clothing

In contrast to the plain look of the Amish and Old Order Mennonites, Hutterite clothing can be vividly coloured, especially on children. Most of the clothing is homemade within the colony. In the past, shoes were homemade but are now mostly store-bought.

Men's jackets and pants are always black. Generally the men's shirts are buttoned up shirts with long sleeves and collars, and they may wear undershirts. Men's pants are not held in place by belts, but rather by black suspenders. Men wear hats outdoors.

Women wear a vest over a white blouse. The pleated skirt matches the vest. Women and girls also wear a scarf or other head covering which is usually black, but may have a small pattern. Young girls, up to age 11 or 12, wear a bright, colorful bonnet.

Church garb is black for both men and women, although very young girls (up to five or six years) might wear navy or brown. The clothing worn for church consists of a plain jacket for both genders and a black apron for women. Men's church hats are always black.

Dialect

Just as the Amish and Old Order Mennonites often use Pennsylvania German, the Hutterites have preserved and use among themselves a distinct dialect of German known as Hutterite German or Hutterisch. Originally based on a Tyrolean dialect from the south-central German-speaking Europe from which they sprang in the 16th century, Hutterisch has taken on a Carinthian base due to their migratory history. In the years 1760 -1763, the Hutterites were joined by a large group of Lutherans who spoke a Carinthian dialect. Eventually, this led to the replacement of the Hutterite's Tyrolean dialect with the Carinthian dialect. Partly as a result of this, the Amish and Hutterite German dialects are not generally mutually intelligible. In their religious exercises Hutterites use a classic Lutheran German.

Demographics

The very high birth rate among the Hutterites is decreasing rapidly. Birth rate stood at 45.9 per 1000 in 1950 and decreased to 43.0 per 1000 in 1970. By 1990, it has further plummeted to 35.2 per 1000. For comparison, the birth rate for rural South Dakota was 23.4 per 1000 in 1950, 14.7 per 1000 in 1970 and 12.1 per 1000 in 1990.

Colonies

The mid-2004 location and number of the world's 472 Hutterite colonies:

Canada (347)
Dariusleut (142): Alberta (109); Saskatchewan (31); British Columbia (2)
Schmiedeleut (106): Manitoba (105); Alberta (1)
Lehrerleut (99): Alberta (69); Saskatchewan (30)
United States (134)



Schmiedeleut (69): South Dakota (53); Minnesota (9); North Dakota (7)

Lehrerleut (44): Montana (44)

Dariusleut (21): Montana (15); Washington (5); Oregon (1)

Japan (1)



Nigeria (1)
Schmiedeleut (1)
The Japanese Hutterite community does not consist of Hutterites of European descent, but ethnic Japanese who have adopted the same way of life and are recognized as an official colony. The inhabitants of this colony speak neither English nor German.

Kamis, 03 Februari 2011

Apa yang sebenarnya memang nyata


Aku mencari apa yang hilang. Dan aku terus mencari apa yang memang ingin dapat aku sentuh. Sejauh apa pemikiranku, yang terus bersembunyi dibalik keinginanku untuk memiliki segalanya. Aku tidak dapat memahami mengapa ini semua yang terjadi. Yang hanya dapat aku ketahui adalah masa ini sudah hilang. Aku tidak lagi sama seperti yang dahulu. Dan aku tidak lagi akan bersama mereka. Karena aku memang berjalan atas takdir-Nya. Dan aku berkata sendiri dalam segala pemikiran yang ada untuk hati dan jiwaku.

Minggu, 09 Januari 2011

Menjadi mulai mati


Jika ada satu perkataan yang memang sulit untuk aku ungkapkan. Itu karena memang diriku menjadi mulai 'mati'. Mati dalam sebuah emosi yang aku anggap memang tidak perlu aku pertahankan.

Bagaimana bisa segala hal yang terjadi mulai dipertanyakan, tentang rahasia di balik rahasia. Dimana sebuah kisah telah tertulis di saat semua sudah menghapuskan berjuta air mata. Aku mulai memahami banyak hal, karena aku mulai melihat banyak hal.

Hal dalam keterdiaman ku. Seperti melihat banyak hal yang tidak dapat aku mengerti. Tapi berusaha agar dapat aku pahami. Meski hanya sekejap saja aku mulai mencari makna yang tersisa di penghujung senja-ku ini.


Jika masa dapat aku ubah. Maka yang ingin dapat aku ubah adalah sebuah penderitaan dan air mata.

Aku terus berusaha melihat, merasa, mendengar,dan memahami apa yang ingin disampaikan oleh jiwa-jiwa yang terus menjerit di ramainya raga palsu mereka.

Seperti apa yang aku alami, aku mulai mencari apa yang mulai ku rasakan hilang. Tanpa arah untuk ku jadikan tujuan. Aku terus berjalan di sepinya hari. Melihat banyak hal yang tidak terucap dengan kata-kata. Atau pun dengan sebuah statement. Seperti mereka yang terus berkutit dengan dunia yang membutakan hati nurani manusia.

Ingat ketika aku berdiri di sebuah persimpangan jalan. Yang akan mulai menentukan pilihan hidupku. Apa yang aku pilih, tentang apa yang ingin aku jalani, atau pun bagaimana aku melewati ini semua. Semua yang terjadi adalah takdir. Takdir yang dituliskan padaku, untuk terus merasakan beragam perasaan, beragam kekecewaan, dan beragam harapan.

Aku terus masih berdiri disini. Menemani berjuta perih yang menjerit. Mengisi beragam kekurangan di dalam hati. Tanpa pernah dapat aku pahami, mengapa Allah memilih ku melakukan ini.

Mungkin telinga-ku dapat aku buat tuli, mata-ku dapat aku buat buta, dan lidah-ku dapat aku buat bisu. Tapi hatiku, terus merasakannya. Merasakan apa yang mereka rasakan.Ini terlalu dalam.

Aku terlalu dalam masuk ke dalam perasaan manusia yang tidak dapat dinalarkan oleh akal dan logika.


"HARI AKAN TERUS BERLALU. TANPA MEMPERDULIKAN HATI. "

Hidup Dan Perjuangan

Apa yang tidak mampu terlepas satu sama lain? Yang mampu mengikat lebih erat daripada nadi. Yaitu kehidupan dan perjuangan.

Dimana hidup bernaung, disanalah perjuangan mengekori-nya. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa perjuangan. Dan mungkin semua memang sudah terukir jelas.

Mungkin memang terlalu naif. Tapi aku sadar arti sebuah perjuangan. Dimana nafas terhembus, disanalah perjuangan terucap. Bukan salah siapapun ketika semua terasa memberatkan. Tapi pahamilah bahwa tak selamanya ini salah.

Aku Dan Diriku

Jakarta Pusat, Jakarta, Indonesia
» aku adalah seseorang yang seperti apa aku pikirkan.mungkin tidak lebih.dan mungkin tidak kurang. » bagiku hidup adalah kejujuran yang mutlak.karena itulah kejujuran yang paling sejati dari Allah.

Just Believe In One Way

Percaya, inilah yang selalu aku pegang untuk mampu menjalani semua permasalahan kehidupan. Tanpa adanya kepercayaan maka arti hidup ini tak akan pernah jadi indah. Tapi aku berusaha memahami arti yang sebenarnya.

Ketika aku mulai menyadari segala hal itu memerlukan perjuangan. Maka aku menyadari pelbagai unsur dari kehidupan itu sendiri. Aku selalu membicarakan ini. Karena memang inilah yang terpenting. Dan inilah segala impian juga harapan yang menjadi satu buah kenyataan. Bermula dari bukan siapa-siapa, dan waktu yang sangat banyak membuatku ingin mencari sesuatu lebih bermakna.

my-favorite-picture

my-favorite-picture