Selasa, 30 November 2010

Betulkah Yesus Berjalan di atas Air???

Selain itu, klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang dapat dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.


Yesus memiliki ilmu meringankan tubuh sehingga dia bisa berjalan di atas air?? Kalau ya, mengapa dia tidak melayang-layang saja di muka tanah ketika berpergian ke Yerusalem tetapi kok berjalan kaki dan menunggang seekor keledai?

Pengantar

Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam alam harus bisa dijelaskan oleh sains (yang dihasilkan oleh akal budi yang digunakan dengan kritis dan konsisten, melalui metode observasi dan eksperimentasi) sebagai sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum alam (the laws of nature atau natural laws), meskipun sains pada masa kini belum bisa menjelaskan seluruh jalannya hukum-hukum alam. Jika ada suatu fenomena alamiah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains pada masa kini, tidak berarti bahwa fenomena ini terjadi karena sebab-sebab supra-alamiah (misalnya karena campur tangan Allah atau campur tangan dewa-dewi) dan karenanya disebut sebagai mukjizat, melainkan berarti bahwa sains pada masa kini belum bisa menjelaskannya dan terbuka kemungkinan untuk sains di masa depan bisa menjelaskannya. Jika kepercayaan pada adanya Allah dipertahankan, maka harus dikatakan bahwa Allah berkarya melalui dan di dalam hukum-hukum alam, dan tidak menentang atau melawan hukum-hukum alam. Lebih jauh dapat ditegaskan bahwa hukum-hukum alam itu sendiri adalah kehendak Allah yang paling langsung dan paling jelas dapat diketahui manusia dalam dunia alam.

Dengan demikian, jika ada suatu laporan apapun bahwa telah terjadi sesuatu yang menurut sains selamanya tidak akan mungkin terjadi secara alamiah di Bumi atau di alam semesta karena melanggar hukum-hukum alam, maka laporan ini tidak boleh diperlakukan sebagai suatu laporan tentang sesuatu yang faktual empiris alamiah sungguh terjadi dalam dunia. Laporan semacam ini harus dilihat entah sebagai suatu laporan palsu yang direkayasa untuk melayani kepentingan-kepentingan insani tertentu, atau sebagai suatu laporan yang memang harus dipahami bukan sebagai suatu laporan faktual tentang suatu kejadian historis, tetapi sebagai suatu laporan atau kisah teologis yang memang ditemukan dalam tulisan-tulisan keagamaan dari berbagai zaman di tempat yang berbeda-beda.

Laporan atau kisah teologis bertujuan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah manusia, tetapi bermaksud menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam tatanan nilai-nilai, misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, dan seterusnya, atau untuk menimbulkan efek dan respons pada emosi dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional/penyembahan keagamaan.

Sebagai contoh, ada sebuah laporan berbentuk audio-visual (bisa dilihat via Internet) bahwa Dedy Corbuzier (DC), seorang mentalist Indonesia, berjalan di atas air sementara kedua tangannya menggenggam sebuah handycam di sebuah kolam renang di Jakarta, atau bahwa dia berjalan ke atas pada sebuah dinding tembok dari sebuah bangunan tinggi dengan garis tubuhnya membentuk sudut 90 derajat dengan garis vertikal tembok. Menurut sains, berdasarkan hukum-hukum alam dan hukum-hukum fisika, dalam kondisi normal alamiah manusia manapun di bumi ini tidak bisa berjalan di atas air yang dalam (kecuali di atas air yang kedalamannya hanya 10-20 cm) sebab berat/massa jenis tubuh normal alamiah manusia lebih besar dari berat/massa jenis air, dan juga tidak bisa berjalan normal alamiah ke atas pada dinding tembok sebab di Bumi ini secara alamiah bekerja gaya gravitasi Bumi yang akan menariknya jatuh ke bawah, seperti sebuah apel akan pasti jatuh ke bawah jika apel ini terlepas dari ranting pohon apel.

Jika DC betul-betul berjalan di atas air kolam renang yang dalam dan gambar acting-nya ini dapat secara objektif diambil oleh sebuah kamera, DC sangat boleh jadi telah berjalan di atas sambungan balok-balok es batu yang panjang dan cukup besar yang telah disiapkan sebelumnya, yang mengapung di atas air kolam renang dan tidak bisa tertangkap oleh penglihatan biasa. Atau, ini yang paling pasti, DC berjalan di atas tiang-tiang balok kaca yang disebut plexiglass, yang dipasang tegak lurus dengan dasarnya menyentuh dasar kolam renang. Plexiglass tidak bisa dilihat oleh mata biasa, tetapi dapat ditangkap oleh kamera khusus. Atau, tayangan DC berjalan di atas air atau berjalan ke atas pada dinding tembok semuanya adalah rekayasa teknologi canggih pembuatan film. Tujuan tayangan-tayangan ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah citra tentang DC, bahwa DC adalah seorang superman atau seorang spiderman kebangsaan Indonesia, bangsa yang merindukan seorang superman benar-benar dilahirkan untuk mengangkat citra bangsa ini di mata dunia. Citra semacam ini dibangun oleh banyak kalangan serebritas di seluruh dunia, bagaimana pun juga caranya, termasuk dengan cara menipu atau mempedaya masyarakat (yang lugu) melalui teknologi canggih sinematografi atau trik-trik material atau mental lain yang menyesatkan.

Apakah Yesus betulan berjalan di atas air yang dalam?

Dalam Injil Markus 6:45-52 (paralel Matius 14:22-33; Yohanes 6:16-21) dikisahkan bahwa Yesus berjalan di atas air Danau Galilea (atau Danau Tiberias). Kita bertanya: Apakah Yesus bisa betulan berjalan di atas air danau yang dalam? Jawabnya: Yesus secara alamiah tidak bisa berjalan di atas air di tengah Danau Galilea yang dalam, karena berat/massa jenis tubuh Yesus lebih besar dari berat jenis air danau. Dan pasti, Yesus juga tidak bisa berjalan melayang di atas muka air danau itu, sebab Yesus memiliki tubuh yang memiliki berat/massa, dan dia bukan roh atau angin atau hantu tanpa tubuh.

Orang Kristen, karena kesalehan dan devosi mereka pada Yesus, umumnya akan berkeras menyatakan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena dia adalah Allah yang sanggup melakukan mukjizat apapun, yang melanggar hukum-hukum alam, bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Alkitab melaporkannya demikian!

Hal apakah Yesus adalah Allah atau bukan, bergantung pada keyakinan masing-masing orang; jadi klaim teologis ini bersifat subjektif doktrinal. Selain itu, klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazaret adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang dapat dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati. Suatu tubuh yang dapat dipaku pada kayu salib lalu mengeluarkan darah dan akhirnya mati, setelah tubuh ini mengalami kesakitan yang amat sangat, adalah tubuh yang pasti tenggelam di air danau yang dalam, sama pastinya dengan tenggelamnya sebutir kelereng begitu kelereng ini dilempar ke danau. Selain itu, karena Alkitab adalah kitab keagamaan, bukan buku sejarah, dan juga bukan buku sains, maka tidak semua berita atau kisah di dalamnya adalah sejarah atau sejalan dengan pandangan sains! Sains dan akal budilah, bukan iman, yang menentukan dan menilai apakah suatu laporan atau suatu kisah dalam Alkitab adalah suatu laporan atau kisah sejarah. Setiap kisah mukjizat dalam Alkitab harus dipahami pertama-tama sebagai sebuah kisah, dan tidak semua kisah adalah sejarah. Sejarah memang kisah, tetapi kisah nyata, bukan kisah fiktif. Mari sekarang kita ikuti bagaimana ihwal Yesus berjalan di atas air dikisahkan.

Kalau Yesus bisa berjalan di atas air yang dalam (katakanlah karena dia memiliki “ilmu meringankan tubuh” yang konon, menurut dongeng, dimiliki para guru silat Biara Shao Lin), dia sebetulnya memiliki suatu kesempatan emas untuk mendemonstrasikan kepandaian hebatnya ini di hadapan orang banyak (konon berjumlah sampai lima ribu orang laki-laki; lihat Markus 6:30-44, sebuah perikop yang langsung mendahului perikop Markus 6:45-52) untuk membuat mereka terkesima lalu menjadi percaya padanya. Tetapi, menurut teks yang kita baca, dengan disaksikan orang banyak yang terus mengikutinya, Yesus dan murid-muridnya “mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi” (Markus 6:32). Demikian juga, dalam kisah sebelumnya tentang Yesus meredakan angin ribut (Markus 4:35-41), di hadapan orang banyak yang melihatnya dan dengan di kelilingi perahu-perahu lain yang sedang berlayar di Danau Galilea, Yesus seharusnya mendemonstrasikan kehebatannya jika memang dia bisa berjalan di atas air. Tetapi apa kata teks yang kita baca? Bukannya Yesus berjalan di atas air danau, dia malah “duduk” lalu “tidur” dalam perahu yang membawanya bertolak bersama murid-muridnya. Bukankah orang banyak akan makin terkesima lalu percaya pada Yesus jika Yesus bukan saja memperlihatkan kemampuannya meredakan angin ribut (4:39) tetapi juga kemampuannya berjalan di atas air? Jadi, bertolak dari teks-teks ini kita lebih baik menyimpulkan bahwa Yesus sebetulnya tidak bisa berjalan di atas air, bukan bahwa dalam kejadian-kejadian itu Yesus tidak mau berjalan di atas air dan dengan demikian melewatkan dengan bodoh kesempatan-kesempatan emas itu.

Jika demikian halnya, mengapa Markus 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air di tengah Danau Galilea? Kisah Markus ini tidak bermaksud melaporkan suatu kejadian sejarah faktual (bahwa Yesus dulu betulan berjalan di atas air yang dalam), melainkan mau menyampaikan ajaran tentang pemuridan (discipleship)—bagaimana orang seharusnya bersikap sebagai murid Yesus dalam kehidupan nyata yang keras yang sedang mereka jalani.

Harus diingat bahwa kitab Injil Markus pertama kali dibaca bukan oleh murid-murid asli Yesus (yang konon berjumlah 12 orang) pada tahun 30-an, tetapi oleh komunitas Kristen pada tahun 70 (abad pertama Masehi) yang menjadi alamat tujuan Injil Markus yang ditulis menjelang akhir Perang Yahudi I melawan Roma (66-70 M). Dalam komunitas ini, Yesus, seperti pada masa kini oleh gereja-gereja Kristen di abad ke-21, disapa sebagai Tuhan dalam doa dan dipercaya hadir dalam roh di tengah kehidupan umat Kristen. Nah, kepada komunitas Kristen yang berdiri 40 tahun setelah kematian Yesus inilah kisah Yesus berjalan di atas air Danau Tiberias semula ditujukan. Apa yang diajarkan oleh kisah ini kepada gereja Markus ini?

Perhatikan kisahnya dengan saksama: Yesus berjalan di atas air ketika “hari sudah malam” (Markus 6:47), ketika perahu yang ditumpangi murid-muridnya terkena “angin sakal” dan gelombang air besar menghambat pelayaran mereka (6:48), dengan disaksikan hanya oleh murid-muridnya dalam perahu itu, bukan oleh orang banyak. Gambaran tentang kegelapan malam dan angin sakal yang menerpa adalah gambaran menakutkan tentang keadaan riil kehidupan keras dan berat yang sedang menimpa gereja Markus, sementara di Palestina sedang berlangsung perang orang Yahudi melawan Roma yang segera berakhir dengan kekalahan telak bangsa Yahudi (tahun 70). Pembaca Injil Markus pada abad pertama dulu juga pasti tahu kisah tentang Air Bah yang pada zaman Nabi Nuh, dikisahkan, melanda dunia dan membinasakan semua kehidupan kecuali Nuh dan keluarganya serta binatang-binatang yang dibawanya dalam bahtera (Kejadian 7-8). Dalam pandangan Alkitab, air bisa menjadi lambang penyucian dan pengudusan (Zakharia 13:1; Efesus 5:26), sepertinya halnya dengan air baptisan Kristen, atau lambang kehidupan (Yesaya 55:1; Yeremia 2:13a; 17:13b; Yehezkiel 47; Yohanes 4:10; 7:38; Wahyu 7:17; 21:6; 22:1), tetapi juga, khususnya dalam kisah Air Bah (lihat juga Bilangan 5:19, 22), bisa menjadi lambang kutuk, pembinasaan dan pemusnahan! Dengan demikian, kisah Markus tentang Yesus berjalan di atas air jelas adalah kisah tentang bagaimana menjadi murid Yesus dalam suatu kondisi kehidupan yang berat, sukar dan mengancam.

Nah, ketika gereja Markus sedang diterpa kekerasan dan penderitaan dalam kehidupan mereka dan terancam musnah, Yesus yang mereka panggil dalam doa didengar (via iman) bersabda, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Markus 6:50), sementara dia menginjak-injak dan meremehkan air yang ada di bawah kakinya. Ya, siapa yang tidak takut kalau hidup dikitari peperangan, azab, kekalahan dan ancaman kemusnahan!? Tetapi, kalau gereja di tengah kehidupan yang sukar dan berat ini tetap memandang dan berkonsentrasi pada Yesus yang berkuasa atas air, semua kesukaran, keberatan dan ancaman kebinasaan ini, kata Markus, dapat diatasi, sebagaimana Petrus semula ketika berkonsentrasi pada Yesus sanggup juga, kata Matius, berjalan di atas air (lihat Matius 14:29), di atas gelombang air danau yang bergelora mematikan, di tengah kegelapan malam, ketika biduk kehidupan dilanda angin sakal kehidupan. Nah, inilah berita, penguatan dan ajaran pemuridan dari penulis Injil Markus (dan penulis Injil Matius), yang disampaikan melalui kisah Yesus berjalan di atas air. Jika pesan ini kita tangkap dan hayati, maka secara figuratif Yesus memang berjalan di atas air, bahkan kita juga, sebagai gereja Yesus Kristus, sanggup berjalan di atas air.

*) Tulisan pendek untuk pengantar acara diskusi kritis kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, 15 Juli 2009, Komisi Dewasa Gereja Kristen Indonesia (Jawa Barat) Kepa Duri, Tomang Barat, Jakarta Barat, Indonesia

Tulisan yang sama dapat juga dibaca pada site
http://www.ioanesrakhmat.com/2009/07/yesus-berjalan-di-atas-air.html

Senin, 29 November 2010

Yesus dan Anak-anak Berbagai Negeri

Dalam beberapa bagian kitab-kitab injil sinoptik dalam Perjanjian Baru dikisahkan Yesus menerima anak-anak dan memberkati mereka (Markus 10:13-16; Matius 19:13-15; Lukas 18:15-17). Sikap Yesus terhadap anak-anak ini berbeda dari sikap murid-muridnya yang sempat memarahi orang-orangtua yang membawa anak-anak mereka kepada Yesus. Sebagai reaksi atas sikap murid-muridnya ini, Yesus berkata kepada mereka dengan nada marah,



“Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, dia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Markus 10:14-15)



Mari kita perhatikan lukisan-lukisan berikut yang diangkat dari kisah-kisah injil tentang perjumpaaan dan penerimaan Yesus terhadap anak-anak, dengan corak dan pemaknaan lokal yang diberikan masing-masing pelukisnya.



Lukisan di atas buah tangan Joseph Scott, yang berdiam di Lahore, provinsi Punjab, Pakistan. Digambarkan, Yesus yang berpakaian Punjab dan bersorban putih sedang menerima dan memberkati anak-anak Punjab, yang mengenakan pakaian Punjab juga, sementara ada juga seorang anak yang bertelanjang dada karena sedang musim panas.



Gambar kedua di atas, karya Oscar Towa, Port Moresby, PNG, menampilkan Yesus Papua New Guinea sedang mengajak anak-anak memancing ikan dari sebuah kano. Udara sangat cerah. Sungai berisikan banyak ikan. Anak-anak sangat bersemangat memancing bersama Yesus, tentu bukan di Danau Galilea.



Gambar ketiga di atas, dilukis oleh Joe Mek dari Port Morseby, Papua New Guinea, menampilkan Yesus Papua NG sedang bersama anak-anak. Udara cerah. Anak-anak bermain bersama Yesus dan mereka semua bergembira ria. Memang Yesus PNG ini kelihatan agak seram, memakai sebuah kalung dengan sepasang taring besar menggantung.



Gambar keempat di atas dilukis oleh Masaru Horie, Kobe, Jepang. Dalam suatu perjalanan ke Yerusalem, Yesus Jepang didatangi kaum ibu yang membawa anak mereka masing-masing untuk diterima Yesus dan diberkati.



Gambar kelima di atas menampilkan Yesus Bali sedang bersama anak-anak yang dibawa kepada Yesus oleh orangtua mereka masing-masing. Yesus, yang berselendang hijau bermotif kotak-kotak hijau, berada di tengah kerumunan, menerima dan memberkati anak-anak. Gambar ini dilukis oleh Komang Wahyu, Den Pasar, Bali.



Sudah terlalu biasa kita mendengar penjelasan bahwa Yesus memakai contoh anak-anak sebagai kalangan yang mudah masuk ke dalam pemerintahan Allah karena anak-anak adalah orang yang polos, tidak ada noda kejahatan dan prasangka buruk dalam hati mereka, dan hanya bisa bergantung pada seseorang yang lebih tua, dan karena itu tepat menjadi contoh orang yang dapat bergantung sepenuhnya kepada Allah dan pemerintahan-Nya. Tentu benar bahwa anak-anak memiliki semua sifat ini.



Tetapi sebetulnya, dalam sistem sosial dunia Yunani-Romawi pada masa kehidupan Yesus, anak-anak adalah kalangan yang paling menderita dan mudah dikorbankan oleh orang lain yang lebih berkuasa dari mereka; anak-anak adalah kalangan yang paling rentan terkena perlakuan keras dan diterbengkalaikan, sama seperti orang-orang dewasa yang miskin, yang tak memiliki apa-apa pada diri mereka kecuali tenaga kasar yang dapat dijual dengan harga murah sebagai kuli atau budak. Tak heran jika penulis Injil Markus dalam teks-teks selanjutnya, langsung setelah episode perjumpaan Yesus dengan anak-anak, memuat sebuah episode lain yang mengisahkan betapa sukarnya seorang kaya untuk mengikut Yesus (Markus 10:17-22). Dengan demikian, Markus mengontraskan anak-anak dengan seorang yang kaya raya yang tak sanggup menjual hartanya semuanya lalu mengikut Yesus, menyambut pemerintahan Allah yang sedang nyata di tengah-tengah rakyat Yahudi. Anak-anak pada masa kehidupan Yesus di dunia Yunani-Romawi adalah simbol kerentanan, ketidakberdayaan dan kemiskinan. Kerajaan Allah justru datang untuk mereka yang rentan, tak berdaya dan miskin.



Untuk post yang sama, dapat dibaca pada site ini

http://ioanesrakhmat2009b.blogspot.com/2010/09/yesus-dan-anak-anak-berbagai-negeri.html

Yesus Menunggang Seekor Dinosaurus? Sebuah Gagasan Tak Waras!!

Tik pak tik pak tineng, huss, huss, hayo jalan, hayo jalan!!!



Yesus menunggang seekor dinosaurus? Apakah ini mungkin, ataukah tidak mungkin? Menurut orang yang memegang kreasionisme sebagai kepercayaan mereka, bahwa Yesus menunggang seekor dinosaurus atau bahwa Yesus menggendong seekor bayi dinosaurus dalam kenyataannya bisa mungkin atau bahkan bisa sangat mungkin. Kita tahu kalangan kreasionis mempertahankan pandangan-pandangan yang didasarkan pada Alkitab yang dipahami secara literalistik (harfiah) mengenai Bumi, jagat raya dan semua makhluk hidup yang mendiami dunia ini. Mereka percaya kuat sekali bahwa Alkitab adalah firman Allah yang tidak dapat memiliki kesalahan apapun dalam segala hal yang disampaikannya kepada kita; Alkitab, bagi mereka, sama sekali tidak bisa salah dalam segala hal yang dicatat di dalamnya. Mereka mempertahankan bahwa seluruh Alkitab harus dipahami secara literalistik, dan bahwa untuk memahami Alkitab dengan benar, orang hanya memerlukan iman dan kepercayaan penuh pada makna harfiah setiap kata yang ditulis dalam Alkitab.



Suatu pelajaran Alkitab yang berbahaya bagi anak-anak Amerika!! Guy, selamatkanlah mereka!



Sudut pandang literalis dan anti-historisis ini menghasilkan pandangan-pandangan yang eksentrik, irasional dan tak waras mengenai umur bumi dan zaman kehidupan dinosaurus di muka Bumi. Berdasarkan hermeneutik mereka yang tidak ilmiah dan pemahaman literalistik mereka atas teks Kejadian 1:24-31 dan silsilah Yesus dalam Injil Matius (1:1-16) dan dalam Injil Lukas (3:23-38), mereka mengklaim bahwa Dinosaurus dulu hidup bersama dengan manusia dan bahwa Planet Bumi ini baru berusia 6000 tahun. Dengan demikian, mereka membayangkan bahwa Yesus menunggangi seekor dinosaurus atau bahwa Yesus memeluk seekor anak dinosaurus adalah suatu kenyataan yang mungkin sekali terjadi. Mengetahui hal ini mungkin membuat kepala Anda mulai berputar-putar keleyengan!



Yesus sang gembala dinosaurus



Menurut kebanyakan kita yang cerdas dan waras, bahwa Yesus menunggangi seekor dinosaurus atau bahwa Yesus memeluk seekor bayi dinosaurus dalam kenyataannya sangatlah tidak mungkin, sebab zaman ketika dinosaurus menguasai Planet Bumi telah lama berlalu sebelum manusia dilahirkan oleh alam untuk mendominasi planet ini.



Melanjutkan kajian yang baru yang sebelumnya sudah dilaksanakan oleh Walter dan Luis Alvarez, sebuah panel yang terdiri atas 41 orang ilmuwan dari berbagai tempat di muka bumi (Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, Kanada, dan Jepang) pada 4 Maret 2010 melakukan suatu tinjauan ulang atas penelitian yang sudah berlangsung selama 20 tahun di bidang ini untuk mencoba mengonfirmasi penyebab lenyapnya apa yang disebut Kretaseus-Tertiar (KT) yang menciptakan suatu “lingkungan seperti neraka” sekitar 65 juta tahun yang lalu dan melenyapkan lebih dari separuh spesies di muka Planet Bumi. Para ilmuwan yang melakukan pengkajian ini menganalisis hasil-hasil penelitian 20 tahun terakhir ini dari para pakar paleontologi, pakar kimia bumi dan atmosfir, pakar pembuat model iklim, pakar geofisika dan pakar sedimentologi, yang terus masih mengumpulkan bukti-bukti mengenai lenyapnya KT ini.



Kerangka lengkap seekor dinosaurus



Menurut kesimpulan panel ini, sebuah asteroid/komet raksasa dari angkasa luar yang lebarnya sampai 15 kilometer (= 9 mil) yang menumbuk muka Bumi di Chicxulub (sekarang dikenal sebagai Meksiko) adalah satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengapa dinosaurus lenyap dari muka bumi.



Asteroid raksasa ini dipikirkan telah menerjang muka Bumi dengan suatu kekuatan yang besarnya satu milyar kali lebih kuat dari kekuatan bom atom yang pernah dijatuhkan di Hiroshima. Tabrakan yang kekuatannya tak terbayangkan ini menimbulkan api maha besar di mana-mana, gempa bumi di mana-mana yang berkekuatan lebih dari 10 skala Richter, tanah-tanah longsor seluas benua yang menciptakan tsunami dahsyat di mana-mana. “Paku terakhir pada peti mati dinosaurus" datang ketika bahan-bahan reruntuhan yang terlempar dari tumbukan mahadahsyat ini terbang ke atas memasuki atmosfir sehingga Planet Bumi terbungkus oleh kegelapan yang amat mengerikan, dan hal ini menimbulkan suatu musim dingin global yang mematikan, yang membunuh banyak sekali spesies yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan kehidupan yang sudah seperti neraka ini.



Sebuah asteroid raksasa menumbuk bumi 65 juta tahun lampau, dan segala reruntuhan yang ditimbulkannya terbang ke atas memasuki atmosfir dan menggelapkan seluruh muka Bumi



Rekam jejak geologis memperlihatkan bahwa peristiwa dahsyat yang menyebabkan kematian dinosaurus ini dengan cepat menghancurkan ekosistem darat dan ekosistem laut. Rekam jejak fosil menunjukkan telah terjadi kemusnahan massal sekitar 65,5 juta tahun lalu (waktu yang kini dikenal sebagai batas K-Pg). Kurun yang menjadi neraka bagi dinosaurus ini, yang menandakan berakhirnya masa kekuasaan dinosaurus di muka bumi selama 160 juta tahun, ternyata menjadi suatu hari akbar bagi makhluk mammalia. Kemusnahan KT adalah suatu momen maha penting dalam sejarah Bumi yang akhirnya membuka jalan bagi kelahiran manusia yang kemudian menjadi spesies yang menguasai Bumi.



Jika kita menggunakan sains untuk memahami dan merekonstruksi masa lampau, maka kita harus menyatakan kepada para kreasionis bahwa Yesus yang menunggangi seekor dinosaurus atau yang menggendong seekor dinosaurus kecil adalah Yesus yang ada hanya dalam imajinasi kristologis heterodoks tak waras mereka. Mereka selalu mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang Kristen ortodoks, meskipun dalam kenyataannya tidak.



Versi dalam bahasa Inggris Note di atas dapat dibaca pada site ini http://heterodoxjesus.blogspot.com/2010/03/jesus-riding-dinosaur-possible.html

"Tubuh" Kebangkitan Yesus menurut Rasul Paulus

Kebangkitan Yesus: Sebuah Halusinasi Permainan Warna



Dalam surat Galatia 1:11-12, Rasul Paulus menulis:



“Sebab aku menegaskan kepadamu, Saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah Injil menurut manusia. Karena aku tidak menerima (Yunani: paralambanō) Injil ini dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya melalui penyataan (Yunani: di’ apokalupseōs) Yesus Kristus.”


Kata kerja paralambanō (=menerima) dapat berarti menerima suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis dari orang lain sebelumnya tentang suatu kejadian historis; tetapi dalam teks Galatia 1:11-12 ini Rasul Paulus dengan sangat jelas menyatakan bahwa dia menerima Injil bukan dari manusia, melainkan dari “penyataan” yang disampaikan oleh Yesus Kristus kepadanya.



Bagaimana caranya Rasul Paulus menerima penyataan dari Yesus Kristus? Paulus dalam 1 Korintus 9:1, melalui sebuah pertanyaan retoris, menyatakan bahwa dia telah melihat (horaō) Tuhan. Menurut lexikon BDAG/1/, kata kerja horaō selain berarti “melihat dengan mata”, juga berarti “melihat suatu penglihatan” atau “melihat secara mental atau secara spiritual.” Dalam 2 Korintus 12:1-4 Rasul Paulus mengisahkan tentang seseorang, yang tidak lain adalah dirinya sendiri, yang telah menerima “penglihatan-penglihatan (optasias) dan penyataan-penyataan (apokalupseis)” “dari Tuhan” (kuriou) ketika dirinya, empat belas tahun sebelumnya, mengalami suatu perjalanan mistik masuk ke langit ketiga, ke Firdaus, dan di Firdaus ini dia “mendengar kata-kata yang tak terkatakan, yang tak boleh diucapkan manusia.”



Tampaknya apa yang dimaksud Paulus tentang hal-hal “yang tak terkatakan dan yang tak boleh diucapkan manusia” itu adalah Injil yang diberitakan olehnya. Dalam Roma 16:25-26 kita baca,



“Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan penyataan (apokalupsis) rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan (fanerōthēnai) dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman.”



Jadi, kita dapat menyatakan bahwa Injil yang Rasul Paulus beritakan adalah Injil yang diterimanya melalui suatu penyataan atau penglihatan mistikal, bukan melalui suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu peristiwa sejarah. Dan melalui penafsiran kitab-kitab para nabi, Injil ini dapat ditemukan, karena sebelumnya, pada zaman lampau, Injil ini telah diberitakan oleh para nabi dalam kitab-kitab mereka atas perintah Allah.



Selanjutnya, tentang Injil yang diberitakannya, dalam 1 Korintus 15:1-9 Rasul Paulus menulis:



“(1) Dan sekarang, Saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri…. (3) Sebab yang sangat penting telah kusampaikan (paredōka) kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima (parelabon) sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan kitab suci (kata tas grafas), (4) bahwa dia telah dikuburkan, dan bahwa dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci; (5) bahwa dia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas muridnya. (6) Sesudah itu dia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. (7) Selanjutnya dia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. (8) Dan yang paling akhir dari semuanya dia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti anak yang lahir sebelum waktunya. (9) Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah.”



Dalam 1 Korintus 15:3 di atas, Paulus menyatakan bahwa dia “menyampaikan” (paradidōmi) apa yang dia telah “terima” (paralambanō). Dua kata kerja ini (paradidōmi dan paralambanō) dapat berarti bahwa Paulus “menyampaikan” suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu kejadian historis, yang dia sebelumnya “telah terima” dari orang lain. Tetapi, seperti telah dicatat di atas, Injil yang Paulus beritakan atau sampaikan bukanlah Injil sebagai suatu tradisi yang dia telah terima dari orang lain (atau dari rasul-rasul sebelumnya), melainkan Injil yang dia telah terima melalui suatu penyataan mistikal yang diberikan Yesus Kristus, dan yang dapat ditemukan melalui penafsiran kitab suci, khususnya kitab-kitab para nabi.



Dan Injil yang dia telah terima ini, dia juga telah sampaikan bukan sebagai sebuah tradisi atau sebuah ajaran dari orang lain, melainkan sebagai ajarannya sendiri. Kata benda paradosis (dari kata kerja paradidōmi), yang menurut BDAG berarti “tradisi atau isi ajaran yang disampaikan kepada orang lain,” dalam 1 Korintus 11:2 dan 2 Tesalonika 3:6 menunjuk kepada tradisi atau ajaran langsung dari Rasul Paulus sendiri. Dalam 1 Tesalonika 4:2 Paulus menyebut “petunjuk-petunjuk” (paraggelias) yang dia telah berikan kepada jemaat atas nama atau dalam kewibawaan Tuhan Yesus. Dalam 1 Korintus 11:23-26, ketika mengacu kepada perjamuan malam Yesus Kristus, Rasul Paulus membukanya dengan perkataan: “Sebab apa yang telah kuteruskan (paredōka) kepadamu, telah aku terima (parelabon) dari Tuhan….”



Dalam 1 Korintus 15:3-4 Rasul Paulus memerinci apa isi Injil yang diberitakan olehnya, yakni bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci, bahwa dia telah dikuburkan, dan bahwa dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci. Dalam ayat-ayat ini dengan jelas Rasul Paulus menyatakan bahwa isi Injilnya ini adalah “sesuai dengan kitab suci”, kata tas grafas, yang juga berarti “sebagaimana kita ketahui dari kitab suci”, yang ditafsirkan secara baru dan dengan pengilhaman oleh Roh Kudus. Earl Doherty/2/ menyatakan bahwa teks-teks profetis dalam Perjanjian Lama yang mengilhami Rasul Paulus untuk memberi isi pada Injilnya adalah Yesaya 53 (tentang kematian yang menebus dosa), Hosea 6:2 (tentang kebangkitan setelah tiga hari), Mazmur 119:120; Mazmur 22:16; dan Zakharia 12:10.



Dalam 1 Korintus 15:4b Rasul Paulus mengungkapkan isi salah satu bagian dari Injilnya, yakni bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci. Sudah ditegaskan di atas bahwa Injil yang Paulus beritakan tidak diterima olehnya dari suatu tradisi historis (lisan atau pun tertulis), tetapi lewat suatu penglihatan mistikal yang diberikan oleh Yesus Kristus, dan melalui suatu pembacaan secara baru atas kitab-kitab para nabi. Jadi, Injil yang disampaikannya bahwa Kristus telah dibangkitkan pada hari ketiga sama sekali bukan sebuah kabar baik yang disampaikan berdasarkan suatu kejadian sejarah, tetapi berdasarkan suatu visi atau penglihatan mistikal dan melalui pembacaan kristologis secara baru Hosea 6:2. Jika halnya demikian, seperti dilihat oleh Earl Doherty/3/, pantaslah jika di beberapa tempat dalam surat-suratnya Rasul Paulus mengindikasikan bahwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati adalah suatu perkara dalam dunia iman saja, bukan suatu kejadian sejarah dalam suatu dunia objektif material. Perhatikanlah teks-teks berikut.



“Karena jika kita beriman bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita beriman juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1 Tesalonika 4:14)



“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” (Roma 10:9)



“Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sia juga kepercayaan kamu…. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu.” (1 Korintus 15:14, 17a)



Karena kebangkitan Yesus Kristus, sebagai salah satu isi Injil Paulus, adalah sesuatu yang diketahuinya lewat pengalaman penglihatan atau lewat suatu visi mistikal yang diberikan Yesus Kristus, maka “tubuh” Yesus yang sudah dibangkitkan, yang diklaim dilihat Rasul Paulus (1 Korintus 9:1; 15:8), tentu bukanlah suatu tubuh material protoplasmik yang dimiliki oleh setiap manusia biasa. Maka tepatlah jika Rasul Paulus menyebut “tubuh” kebangkitan sebagai “tubuh rohaniah” (sōma pneumatikon) yang berbeda dari tubuh alamiah atau tubuh jasmaniah (sōma psukhikon) (1 Korintus 15:44), atau sebagai “tubuh surgawi” (sōma epouranios) yang berbeda dari tubuh duniawi (sōma epigeios) (ayat 40). Sudah dicatat di atas, bahwa Rasul Paulus mengklaim dirinya “melihat” Tuhan (1 Korintus 9:1), “melihat” dalam arti spiritual dan mental, bukan dengan mata biasa. Dalam Filipi 3:20-21, Rasul Paulus juga menyebut “tubuh kebangkitan” Yesus sebagai tubuh non-material, “tubuh yang mulia” (to sōma tēs doksēs). Di luar surat-surat asli Paulus, rujukan kepada “tubuh rohaniah” atau “tubuh surgawi” Yesus yang bangkit ditemukan antara lain dalam 1 Petrus 3:18-22 (“Ia [=Yesus Kristus], yang telah dibunuh dalam keadaannya sebagai manusia, tetapi telah dibangkitkan menurut roh [pneumati]); Efesus 1:20 (“… dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga”), dan Ibrani 10:12; 13:20 yang menunjukkan penulisnya tidak mengenal konsep tentang kebangkitan daging.



Bagaimana wujud “tubuh rohaniah” yang dibayangkan Rasul Paulus ini, yang bukan “tubuh berdaging” atau “tubuh jasmaniah”, yang dapat dilihat olehnya lewat suatu visi atau penglihatan mistikal? Tentang ini, Richard Carrier membuat sebuah obervasi menarik berikut ini.



“Gagasan bahwa jiwa tidak memiliki massa, bahwa jiwa bukan ‘tubuh’ dengan lokasi, yang terbuat dari materi, tidaklah lazim di dunia kuno, tidak seperti pada zaman sekarang. Sebetulnya, gagasan umum tentang suatu jiwa yang tak memiliki massa, jiwa yang immaterial, pada dasarnya adalah suatu produk pemikiran Abad Pertengahan, meskipun gagasan ini telah memiliki suatu tempat embrionik di dalam Platonisme dan kultus-kultus pagan tertentu. Jadi, adalah mungkin bahwa Paulus dan orang-orang Kristen perdana lainnya percaya bahwa sang Kristus yang telah bangkit memiliki sebuah ‘tubuh’ baru, meskipun kini terbuat dari bahan yang tak bisa binasa…. Tubuh baru ini pastinya terbuat dari zat eterial murni dan homogen, zat-zat yang membentuk kawasan angkasa, yang umum dikenal oleh semua pemikir pada masa itu sebagai satu-satunya zat yang tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat berubah, di dalam jagat raya.”/4/



Nah, “tubuh eterial” semacam ini, “tubuh rohani” namun memiliki “substans” atau “zat”, dipercaya oleh orang Yunani-Romawi pada era kekristenan perdana sebagai tubuh para dewa. Relevan dengan hal ini, perlu diingat, di dalam Markus 9:2-8 ada sebuah kisah tentang Yesus berubah rupa, mengalami transfigurasi di sebuah gunung yang tinggi, pada saat mana juga muncul Elia dan Musa yang bisa “dilihat” oleh murid-murid Yesus yang hadir dan mengalami ketakutan luar biasa (Petrus, Yakobus dan Yohanes); tetapi kedua orang zaman lampau ini kemudian menghilang lagi begitu saja. Walaupun tidaklah jelas bagaimana ketiga murid Yesus ini bisa mengenali wajah Elia dan Musa yang mereka tidak pernah jumpai, namun kejadian ini dikisahkan sedemikian rupa, dan pengisahan yang semacam ini harus membuat pembaca menyimpulkan bahwa peristiwa yang dikisahkan ini adalah suatu peristiwa penglihatan atau suatu visi. Bisa jadi kisah ini semula adalah kisah tentang suatu penampakan Yesus sesudah kebangkitannya, yang dilihat para murid dalam suatu penglihatan mistikal. Yang jelas dalam kisah ini, Elia dan Musa digambarkan masing-masing memiliki suatu “tubuh” yang tidak biasa, yang bisa dilihat namun sebentar kemudian lenyap begitu saja, yang kemunculannya juga tak diduga-duga sebelumnya oleh para murid penyaksi.



Bisa jadi, konsep kuno tentang zat eterial alam semesta melatarbelakangi pemikiran Rasul Paulus tentang “tubuh rohani” yang dikatakannya sebagai tubuh Yesus yang sudah dibangkitkan, sebagai suatu prototipe “tubuh yang diubah” dari orang-orang lain yang nanti akan mengalami kebangkitan. Tetapi, ada dua kesulitan timbul jika “tubuh rohani” itu adalah tubuh eterial. Pertama, jika zat eterial ini ada dan nyata, dan dengan demikian juga “tubuh rohani” eterial, maka orang tak perlu harus mengalami suatu visi atau penglihatan mistikal untuk dapat melihatnya, melainkan dapat melihat langsung dengan mata biasa. Kedua, tentu saja, konsep kuno zat eterial semesta ini salah. Dalam zaman sekarang, kita tidak lagi berpikir bahwa alam semesta terbentuk dari zat eterial.



Jika kita harus percaya bahwa Rasul Paulus memang sungguh-sungguh “melihat” Yesus yang sudah bangkit dalam suatu penglihatan mistikal atau dalam suatu visi/5/, adakah alternatif lain untuk kita pikirkan sebagai “wujud” tubuh rohaniah ini? Sebagaimana disarankan oleh James G. Crossley, teks Markus 6:49-50 patut dipertimbangkan./6/ Di situ Markus menuturkan bahwa pada jam tiga malam murid-murid melihat Yesus berjalan di atas air, hendak melewati mereka yang sedang berperahu dengan susah payah karena angin sakal. Segera mereka mengira bahwa Yesus adalah hantu (Yunani: fantasma), lalu mereka berteriak-teriak karena kaget dan takut luar biasa. Teks ini menunjukkan bahwa pada era kekristenan perdana, ada kepercayaan bahwa hantu itu terlihat, memiliki suatu wujud kongkret, dan melakukan gerakan-gerakan tanda hidup. Tampaknya pada awalnya kepercayaan bahwa Yesus-yang-sudah-bangkit bertubuh kasat mata sebagai hantu, non-material tetapi berwujud (ghostly and bodily), sudah cukup meluas beredar, sehingga penulis Injil Lukas (di tahun 85) merasa perlu untuk menangkis kepercayaan ini. Lukas menulis dalam Lukas 24:36-43 bahwa untuk menepis sangkaan para muridnya bahwa Yesus adalah “hantu” atau “roh” (pneuma)/7/ yang kelihatan nyata, Yesus, dalam ayat 39, berkata, “Lihatlah tanganku dan kakiku: Aku sendirilah ini; rabahlah aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaku.”



Tentu saja, pemahaman Lukas bahwa Yesus bukan hantu, tetapi bertubuh kongkret lengkap dengan daging dan tulang, malah juga bisa memakan sesuatu (Lukas 24:43), sudah jauh meninggalkan konsep Rasul Paulus yang tidak mengenal baik gagasan tentang “kebangkitan daging” maupun gagasan tentang “kubur kosong.” Kedua gagasan yang muncul belakangan ini, termasuk kisah-kisah penampakan Yesus yang sudah bangkit secara ragawi, diajukan oleh semua penulis Injil- injil dalam Perjanjian Baru ketika para rasul utama dalam kekristenan perdana sedang terlibat dalam suatu pertarungan politis memperebutkan posisi utama dalam hirarki kepemimpinan gereja. John Dominic Crossan berpendapat bahwa kisah-kisah Injil-injil Perjanjian Baru tentang penampakan-penampakan Yesus dan tentang penyataan-penyataan yang diberikannya secara perlahan menggeser penekanan terhadap pemberian penyataan-penyataan ini secara konsisten dan hirarkis, mulai dari komunitas secara umum, lalu ke kelompok para pemimpin, sampai akhirnya ke para pemimpin khusus yang memegang otoritas apostolis./8/ Juga seperti kata Helmut Koester, “kisah-kisah kesengsaraan yang ditulis, yang beredar, dan juga tulisan-tulisan yang menjadi Injil-injil, menyingkapkan suatu kepentingan politis.”/9/ Werner Kelber juga menyatakan bahwa jenis kisah-kisah penampakan Yesus setelah kebangkitannya, yang mengisi kitab-kitab Injil Perjanjian Baru khususnya, cocok untuk menetapkan dan meningkatkan pengetahuan esoteris dan otoritas apostolis./10/



Ya, dalam banyak kebudayaan kepercayaan pada adanya hantu (orang mati) yang berjalan-jalan lalu menampakkan diri kepada manusia pasti dapat ditemukan, bahkan juga pada zaman modern sekarang ini. Dengan berdasar pada pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh antropologi lintas-budaya, antar-agama dan psikososial, dan juga yang diperoleh dari kajian-kajian psikiatris modern terhadap kondisi-kondisi mental manusia ketika mengalami kedukaan dan kehilangan, Crossan menyimpulkan bahwa suatu visi atau suatu penglihatan mengenai hantu, yakni mengenai orang yang sudah mati tetapi tampak hidup lagi dan aktif, adalah suatu kemungkinan yang umum terjadi pada manusia, suatu kemungkinan yang terhubung kuat dengan otak kita, yang faktual terjadi di abad pertama dan di zaman modern./11/ Selain itu, dengan memperhatikan tulisan Virgil, Aeneid Buku 2, tulisan Justin Martyr, 1 Apology 21, dan juga suatu bagian dari tulisan Celsus, On the True Doctrine, Crossan menyimpulkan bahwa di dalam kebudayaan Laut Tengah kuno, pada awal mula berdirinya kekristenan, penampakan-penampakan diri orang-orang yang sudah mati, dan kenaikan ke surga orang-orang yang sudah mati tetapi hidup lagi, diterima sebagai kemungkinan-kemungkinan yang nyata, dan bukan sebagai kejadian-kejadian yang abnormal dan sepenuhnya unik./12/ Setelah mengkaji kisah-kisah tentang penampakan hantu orang-orang yang sudah mati dalam kebudayaan Yunani klasik, kebudayaan Romawi, dan dalam teks-teks Yahudi, Thomas S. Verenna menyimpulkan bahwa kisah-kisah tentang hantu adalah “fenomena kebudayaan”, dan tradisi serta kepercayaan tentang hantu-hantu orang-orang mati yang gentayangan “berakar pada fenomena psikologis dan fisikal yang sangat nyata” yang “dapat terjadi dalam aneka ragam bentuk.”/13/



Memang tidak semua orang akan begitu saja mengklaim telah melihat hantu orang-orang mati. Ada prakondisi-prakondisi psikologis patologis tertentu yang harus dialami seseorang sebelum dia bisa menerima suatu penglihatan atau suatu visi melihat hantu. Misalnya prakondisi psikologis sedang berduka sangat dalam karena kehilangan orang yang sangat dikasihi. Atau prakondisi psikologis terbuka pada pengalaman-pengalaman paranormal atau spiritual, berhubung yang bersangkutan memang menjalani suatu pergaulan yang intensif dengan kelompok-kelompok paranormal atau kelompok-kelompok spiritual tertentu yang memiliki buku-buku bacaan, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual spesifik. Apa yang dinamakan halusinasi akan dengan mudah dialami oleh orang-orang yang memiliki prakondisi-prakondisi sosio-psikologis semacam ini.



Penglihatan akan hantu tergolong halusinasi, sebab hantu yang sama bisa tidak terlihat oleh orang lain yang ada bersama dengan orang yang mengalami halusinasi ini. Dalam suatu kajian tentang fenomena halusinasi dalam lingkungan kehidupan orang-0rang Kristen perdana, Richard Carrier menyatakan bahwa orang-orang Kristen perdana kerap secara teratur mengalami halusinasi, yang menyebabkan mereka juga menerima penyataan-penyataan yang serupa dengan yang diterima Rasul Paulus yang sebelumnya memang juga mengalami halusinasi./14/ Carrier menulis, “pengalaman-pengalaman halusinasi yang jelas, terdokumentasi dengan baik di sepanjang semua tradisi keagamaan, di sepanjang sejarah, dan tampaknya otak manusia secara khusus terhubung dengan pengalaman-pengalaman ini.”/15/ Menurut Slade dan Bentall, yang dirujuk oleh Carrier, “proses dan kondisi patologis …umumnya dikaitkan dengan pengalaman halusinasi. Kondisi ini mencakup kerusakan sistem pengindraan, variasi-variasi fisiologis seperti bertambahnya suhu tubuh dan kekurangan air, gangguan sistem saraf pusat, dan kondisi-kondisi psikiatris seperti skizofrenia dan psikoses depresif yang berlebihan.”/16/



Jika penglihatan Rasul Paulus terhadap Yesus yang “bertubuh rohani” memang adalah suatu penglihatan terhadap hantu Yesus, maka pengalaman penglihatannya ini adalah suatu halusinasi, yang diklaimnya sebagai suatu pengalaman penglihatan atau suatu pengalaman menerima visi dari Yesus Kristus sendiri, yang ditafsirkannya sudah tercantum dalam kitab-kitab para nabi tertentu. Bukan hanya dialami Rasul Paulus, pengalaman halusinasi ini juga dialami oleh rasul-rasul lain yang disebutnya: Kefas, dua belas murid, lima ratus saudara sekaligus, Yakobus, semua rasul. Kalau para sejarawan modern telah mencatat dengan benar dan tak ada unsur pembesar-besaran berita, tercatat bahwa di kawasan peziarahan Cova da Iria, di Fatima, Portugal, pada 13 Oktober 1917, tujuh puluh ribu peziarah serentak melihat Matahari “merobek dirinya sendiri dari angkasa lalu menimpa kerumunan orang banyak yang ketakutan.”/17/ Tentu laporan ini bukanlah sebuah laporan tentang suatu kejadian astronomis betulan, melainkan sebuah laporan tentang terjadinya halusinasi massal, yang melibatkan bukan hanya lima ratus peziarah, tetapi tujuh puluh ribu. Kapanpun juga, halusinasi adalah suatu pengalaman psikologis, yang terhubung ke organ otak, bukan suatu pengalaman mengenai suatu kejadian historis dalam suatu dunia objektif. Pengalaman halusinasi Rasul Paulus melihat hantu Yesus dengan tepat disebutnya sebagai suatu pengalaman yang hanya ada dalam iman.





by Ioanes Rakhmat





Catatan-catatan



/1/ A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (third edition; Chicago and London: University of Chicago Press, 2000). Lexikon edisi ketiga ini disebut juga dengan singkatan BDAG (Bauer-Danker-Arndt-Gingrich).



/2/Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God: The Case for A Mythical Jesus (edisi baru yang diperluas; Ottawa, Canada: Age of Reason Publication, 2009) 47, 85-86.



/3/ Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God, 79.



/4/ Richard Carrier, “Osiris and Pagan Resurrection Myths” (2000) dalam situs http://www.frontline-apologetics.com/Carrier_on_Osiris_.html.



/5/ Bandingkan dengan tuturan tentang fotisme yang dialami Rasul Paulus dalam suatu perjalanannya ke Damsyik dalam Kisah Para Rasul 9:3-9; 22:6-11; 26:12-18. Menurut para antropolog, penglihatan berupa suatu “sosok bercahaya” (= fotisme) adalah sebuah fenomena lintas-budaya, yang dapat ditemukan dalam banyak kehidupan suku-suku bangsa di dunia ini.



/6/ Michael F. Bird and James G. Crossley, How Did Christianity Begin? A Believer and Non-believer Examine the Evidence (London/Peabody: SPCK and Hendrickson Publisher, 2008) 54.



/7/BDAG menerjemahkan pneuma dalam Lukas 24: 37, 39 sebagai “ghost”, hantu.



/8/ John D. Crossan, The Historical Jesus: The Life of A Mediterranean Jewish Peasant (New York: HarperCollins, 1991) 395-416; idem, Jesus: A Revolutionary Biography (New York: HarperCollins, 1994) 165 dyb.; idem, Who Killed Jesus? Exposing the Roots of Anti-semitism in the Gospel Story of the Death of Jesus (New York: HarperCollins, 1995) 202 dyb.



/9/ Helmut Koester, “Writings and the Spirit: Authority and Politics in Ancient Christianity” dalam Harvard Theological Review 84:4 (1991) 369 [253-372].



/10/ Werner H. Kelber, “Narrative and Disclosure: Mechanisms of Concealing, Revealing, and Reveiling” dalam Semeia 43 (1988) 6 [1-20].



/11/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord” dalam The Jesus Controversy: Perspectives in Conflict. Penyunting umum: Gerald P. McKenny (Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press International) 6-7 [1-47]; idem, Jesus: A Revolutionary Biography, 87-88; idem, “Why Is Historical Jesus Research Necessary?” dalam James H. Charlesworth and Walter P. Weaver (eds.), Jesus Two Thousand Years Later (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2000) 17-18 [7-37]. Bdk. Gerd Lüdemann dan Alf Özen, De Opstanding van Jezus: Een Historische Benadering (Baarn: Ten Have, 1996) 176-178 [114-178].



/12/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord”, 6 dyb., 26-31.



/13/ Thomas S. Verenna, Of Men and Muses: Essays on History, Literature, and Religion (Lulu.com, 2009) 145.



/14/Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ” dalam Robert M. Price dan Jeffery Jay Lowder, eds., The Empty Tomb: Jesus Beyond the Grave (2005) 184-188.



/15/ Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ”, 184.



/16/ Peter D. Slade dan Richard P. Bentall, Sensory Deception: A Scientific Analysis of Hallucination (1988) 28.



/17/ http://www.sofc.org/Spirituality/s-of-fatima.htm.

Fundamentalisme Kristen dan Teks-teks Skriptural Triumfalistik

Fundamentalisme adalah suatu ideologi keagamaan eksklusif yang dibangun di atas teks-teks skriptural eksklusif yang dipahami secara literalistik ahistoris, dan yang mendorong suatu umat beragama untuk hidup secara eksklusif dan mengisolasi diri serta memandang diri sendiri sebagai kelompok yang benar satu-satunya, dan memandang kelompok-kelompok berbeda sebagai musuh yang harus dipertobatkan atau dibinasakan demi menciptakan suatu dunia di masa depan yang sama sekali lain, yang hanya dihuni oleh kalangan mereka sendiri. Dengan demikian, fundamentalisme minimal mencakup hermeneutik Kitab Suci, psikologi dan gaya hidup, serta politik pembinasaan lawan dan penghancuran dunia lama yang akan digantikan oleh suatu dunia yang sama sekali lain yang datang dari “atas” (dikenal sebagai “politik apokaliptik”). Unsur-unsur yang membentuk fundamentalisme ini saling berkaitan. Jelas, setiap upaya kritis untuk menghadapi atau mendekonstruksi fundamentalisme mengharuskan orang untuk masuk ke bidang-bidang hermeneutik Kitab Suci, psikologi, antropologi kultural, politik dan ekonomi. Pada kesempatan ini, untuk membedah dan mendekonstruksi fundamentalisme dalam kekristenan fokus dibatasi pada hermeneutik Kitab Suci.

Sabda Yesus, "Akulah satu-satunya flyover menuju sang Bapa."



Ada sekian teks skriptural eksklusif utama dan gagasan teologis Kristen dasariah yang umumnya mendorong lahir dan terpeliharanya fundamentalisme Kristen. Teks-teks tersebut dan gagasan-gagasan teologis yang relevan beserta penjelasannya akan disajikan di bawah ini, dan dampak teks-teks tersebut bagi kehidupan orang Kristen akan juga digambarkan dengan singkat. Setelah itu, keabsahan teks-teks dan gagasan-gagasan teologis utama ini akan langsung dipertanyakan atau teks-teks tersebut akan didekonstruksi.





1a) Gagasan teologis besar Kristen: pengampunan dosa dan keselamatan hanya via kematian Yesus di kayu salib



Tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa soteriologi salib, yakni ajaran bahwa keselamatan manusia diperoleh hanya lewat kematian Yesus di kayu salib, telah secara signifikan menjadikan kekristenan sebagai suatu agama yang eksklusif, yang tidak bisa mengakui atau menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama lain, dan menghasilkan orang Kristen yang sama sekali tidak bisa toleran terhadap klaim-klaim kebenaran autentik yang diwartakan agama-agama lain kepada dunia.



Mengapa soteriologi salib bisa menghasilkan agama Kristen dan orang Kristen semacam itu? Karena, menurut pandangan orang Kristen, soteriologi salib menawarkan satu-satunya jalan keselamatan yang paling realistik, paling cocok, paling manjur dan paling memberi pengharapan bagi kondisi manusia. Orang Kristen kerap dengan naif mengklaim, tidak ada agama lain yang menawarkan soteriologi sejenis ini. Sebetulnya, orang Kristen yang semacam ini perlu bertanya dengan rendah hati kepada orang yang menganut Buddhisme mengenai para Boddhisatva dan apa yang mereka lakukan sehubungan dengan keselamatan manusia. Tetapi, bagaimana pun juga, kita pada kesempatan ini perlu bertanya, Apa yang diajarkan dan ditawarkan soteriologi salib kepada dunia, sehingga soteriologi ini diklaim orang Kristen sebagai suatu soteriologi yang sangat khas dan istimewa bahkan satu-satunya di dunia ini?



Menurut suatu mitos Kristen, sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa, maksudnya: sejak pelanggaran dan perlawanan dua nenek moyang manusia ini di Taman Eden terhadap ketetapan Allah di permulaan kehidupan manusia di muka bumi ini yang mengakibatkan mereka berdua (juga ular dan bumi) terkena kutuk dan penghukuman Allah, semua orang keturunan mereka selanjutnya di segala tempat dan di segala zaman telah ikut berdosa dan harus juga menanggung azab dan kematian sebagai akibatnya (Kejadian 3:14-19; Roma 6:23). Ini adalah doktrin tentang “dosa warisan” atau “dosa asal” yang ditulis Rasul Paulus dalam Roma 5:12-19 sebagai dosa dan hukuman yang terus “menjalar kepada semua orang.”



Di samping dosa warisan yang tidak bisa dielakkan oleh semua manusia, termasuk oleh bayi yang baru dilahirkan, manusia juga berbuat dosa pribadi terus-menerus dan tidak bisa berbuat baik dan benar sama sekali untuk menyenangkan hati Allah. Menurut ajaran Kristen, “gambar dan rupa Allah” yang semula pada waktu penciptaan ditanamkan ke dalam kodrat manusia (Kejadian 1:26; 2:22; 5:1) telah hilang lenyap dari diri mereka sejak “kejatuhan” Adam dan Hawa. Kemuliaan Allah telah hilang dari diri setiap orang, tegas Rasul Paulus (Roma 3:23); akibatnya kapan pun juga manusia tidak akan bisa melakukan kebajikan dan kebenaran lagi (Roma 3:10-12; kutipan dari Mazmur 14:1-3; 53:2-4). Rasul Paulus dengan negatif menyatakan sesuatu tentang dirinya sendiri, tentang manusia pada umumnya, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik” (Roma 7:18). Sejalan dengan rusaknya citra ilahi dalam diri manusia, hati nurani manusia pun ikut rusak, “suara hati” tidak bisa menyelamatkan manusia; begitu juga, ketika hukum Taurat diberikan kepada manusia, hukum ini juga sama sekali tidak bisa mendatangkan keselamatan pada manusia. Itulah yang diajarkan Rasul Paulus dalam Roma 2:1-3: 20.



Jelas, mitos Kristen ini memberi gambaran yang sangat suram, buruk dan negatif mengenai citra kodrati manusia pasca-“kejatuhan” Adam dan Hawa. Tidak ada harapan keselamatan apapun pada diri manusia jika mereka mengandalkan kekuatan dan kemampuan diri sendiri untuk mencapai keselamatan. Perbuatan manusia, sebaik dan sebenar apapun, menurut mitos ini, tidak memiliki nilai dan potensi soteriologis apapun, karena sehabis melakukan perbuatan baik manusia yang sama juga akan melakukan perbuatan jahat, bahkan dalam porsi yang lebih besar. Inilah kondisi riil seluruh umat manusia yang tidak berisi pengharapan apapun, kondisi riil yang diungkap Rasul Paulus demikian, “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak kukehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat ” (Roma 7:19).



Maka, lanjut mitos Kristen ini, Allah, dengan memerhatikan realitas kondisi manusia yang semacam ini, pada akhirnya berinisiatif memberi jalan keluar kepada manusia untuk mereka dapat menerima keselamatan. Yakni dengan Dia mengharuskan Yesus Kristus menempuh jalan sengsara, via dolorosa, dan akhirnya mati dibunuh di kayu salib oleh lawan-lawannya, sebagai kurban pengganti satu-satunya untuk semua manusia berdosa, sekali untuk selamanya (efapaks; Ibrani 7:27; Roma 6:9-10). Inilah vicarious sufferings yang dijalani dan dipikul Yesus Kristus, supaya/demi manusia terbebas dari hukuman atas dosa yang diwariskan Adam dan Hawa dan yang diperbuatnya sendiri. Dengan percaya bahwa pada diri Yesus Kristus yang disalibkan Allah telah menumpahkan api kemurkaan-Nya atas dosa manusia, manusia, tanpa perlu berbuat apapun, menerima keselamatan sungguh-sungguh hanya sebagai anugerah dan rakhmat, sola gratia. Inilah yang diberitakan dan ditawarkan soteriologi salib.



Dengan demikian, dalam penilaian orang Kristen, soteriologi salib adalah soteriologi yang paling realistik dan paling cocok dalam memecahkan masalah keberdosaan dan kebobrokan total diri manusia, sebab soteriologi ini tidak mendasarkan keselamatan manusia pada amal ibadah dan perbuatan baik yang sesungguhnya, menurut pandangan Kristen, tidak dapat dihasilkannya. Soteriologi salib juga dinilai gereja Kristen paling memberikan pengharapan bagi masa depan manusia, karena dengan memercayai soteriologi ini manusia dapat dengan tenteram mempercayakan diri mereka sepenuhnya kini dan selamanya kepada Allah yang sudah terbukti sebagai Allah yang pengampun, pemurah dan penuh rakhmat di dalam diri Yesus Kristus. Karena jalan salib dan kematian Yesus Kristus sudah terjadi dulu di awal tahun tiga puluhan abad pertama Masehi, maka soteriologi ini pasti manjur dan berkhasiat bagi manusia untuk membentuk perilaku moral mereka, sebab, jika tidak demikian, sia-sialah azab dan kematian Yesus dulu. Tidak berlebihan jika dikatakan orang Kristen percaya bahwa soteriologi salib bekerja secara magis.





1b) Dekonstruksi teks



Hemat penulis, soteriologi salib atau jalan keselamatan melalui azab, kesengsaraan dan kematian Yesus di kayu salib memuat permasalahan-permasalahan etis teologis berat yang sangat sulit diatasi, atau bahkan tidak dapat diatasi sehingga merongrong validitas inti iman Kristen.



Pertama, kalau dosa manusia itu (dosa warisan ataupun dosa pribadi) dipandang Allah sebagai suatu tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya dan terhadap diri Allah sendiri, maka apakah tindak kekerasan yang Allah sendiri telah lakukan terhadap Yesus (dengan mengharuskannya menempuh jalan penderitaan, via dolorosa, dan mengalami kematian mengenaskan di kayu salib) akan bisa menghapus kekerasan dosa-dosa manusia? Apakah suatu tindak kekerasan bisa meniadakan suatu tindak kekerasan lainnya? Apakah tindak kekerasan Allah terhadap Yesus bisa mengeliminasi tindak kekerasan yang manusia lakukan terhadap sesamanya dan terhadap Allah? Bukankah pendapat kita adalah bahwa kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru, bukan menghapuskannya? Bukankah dosa manusia tidak bisa dihapuskan oleh kekerasan ilahi? Bukankah dosa Allah tidak bisa menghapus dosa manusia? Bukankah dosa hanya menumpuk dosa, bukan melenyapkannya?



Kedua, bukankah teologi tentang penebusan dosa melalui penderitaan dan kematian biadab Yesus di kayu salib telah melegitimasi dan malah telah melakukan sakralisasi terhadap perbuatan biadab para pemimpin Yahudi dan gubernur Romawi Pontius Pilatus terhadap Yesus dari Nazaret yang sebetulnya tidak bersalah? Dengan kata lain, bukankah ketika gereja sedunia merayakan Jumat Agung (hari peringatan kematian Yesus), mereka sebenarnya sedang melegitimasi dan menyakralisasi kekejaman dan kekerasan serta kebiadaban sekelompok penguasa keagamaan dan politis kepada Yesus dari Nazaret? Bukankah tidak ada kekerasan yang sakral sehingga kekerasan ini boleh dilakukan?



Demikian juga, bukankah ketika gereja merayakan Paskah (hari peringatan kebangkitan Yesus), tanpa mereka sadari mereka sebenarnya juga memberi legitimasi teologis terhadap serangkaian tindak kekerasan yang ditimpakan pada Yesus sejak dia diadili, lalu dipaksa berjalan ke Golgota dengan disiksa dan akhirnya disalibkan di situ? Bukankah Paskah berarti pembenaran terhadap serentetan tindakan biadab terhadap Yesus yang berakhir di hari Jumat Agung, hari kematian Yesus di kayu salib? Legitimasi teologisnya demikian: Ya, benar, Yesus memang harus disengsarakan, dizalimi, lalu dibunuh dengan kejam, supaya semua tindakan kejam ini bisa memuncak pada tindakan Allah membangkitkan Yesus di hari Paskah. Jika demikian, bukankah Paskah itu bukan suatu warta gembira, bukan suatu warta kemenangan (bahwa maut telah dikalahkan!), melainkan suatu legitimasi teologis yang tidak bermoral atas serangkaian tindak kekerasan yang sebelumnya dialami Yesus? Bukankah tanpa via dolorosa yang dijalani Yesus, tidak akan ada kebangkitannya? Dengan demikian, bukankah kebangkitan Yesus membenarkan kesengsaraannya? Ya, supaya Yesus dibangkitkan, supaya ada kemenangan atas maut, Yesus harus dizalimi dan disengsarakan! Bukankah, dengan demikian, merayakan Paskah berarti membenarkan Pontius Pilatus dan para penguasa Yahudi dalam berlaku keras dan biadab terhadap Yesus?



Teologi Paskah, dengan demikian, mengunci kekristenan dalam suatu dilema dan kontradiksi pelik: pada satu pihak, Paskah dapat berarti Allah, dengan membangkitkan Yesus, menolak semua kekerasan yang telah dialami Yesus sebelumnya; namun di lain pihak, Allah memerlukan jalan kekerasan dijalani Yesus supaya Yesus menanggung hukuman yang seharusnya ditanggung manusia, dan dengan membangkitkan Yesus, Allah membenarkan semua perlakuan keras yang telah dialami Yesus ketika dia diharuskan Allah menempuh via dolorosa.



Ketiga, kisah-kisah injil Kristen tentang masa-masa kesengsaraan Yesus, yang dijalaninya sejak dia ditangkap, lalu diadili, kemudian dipaksa berjalan ke Kalvari sambil disiksa sementara dia memikul kayu salibnya sendirian (versi Yohanes 19:17), dan kemudian disalibkan di sana, secara bertahap menggeser kesalahan yang sebetulnya ada pada pihak Roma (Gubernur Pontius Pilatus) ke pihak Yahudi yang direpresentasikan para penguasa Bait Allah. Penggeseran tanggungjawab ini akhirnya menjadikan seluruh bangsa Yahudi turun-temurun sebagai pihak yang satu-satunya bersalah terhadap Yesus, yang harus menanggung akibat kematian Yesus (Matius 27:25), sebagai pihak yang telah melakukan pembunuhan terhadap Tuhan (deicide). Inilah motif anti-Yahudi yang terdapat paling kuat dalam kisah-kisah pengadilan Yesus dalam injil-injil Kristen. Motif ini kemudian, di zaman modern, melahirkan anti-Semitisme yang menimbulkan antara lain pembunuhan jutaan orang Yahudi (Holokaus) oleh rezim Hitler di Eropa pada abad XX.



Anti-semitisme ini sering tanpa disadari dibela gereja Kristen ketika mereka, misalnya, mempersalahkan orang Yahudi sebagai pembunuh Tuhan, dan karena itu mereka (orang Yahudi), dalam pandangan gereja, telah kehilangan anugerah ilahi yang semula diberikan kepada mereka. Dengan merayakan masa-masa kesengsaraan Yesus (dalam minggu-minggu Pra-Paskah) dalam ibadah gereja, gereja Kristen sebenarnya terus-menerus memelihara dan mewariskan ideologi anti-Semitisme, tanpa mau tahu atau tanpa menyadari bahwa anti-Semitisme ini telah menghilangkan begitu banyak nyawa orang Yahudi dalam zaman modern ini.



Begitulah, di dalam inti terpenting dogma Kristen tentang jalan keselamatan manusia lewat Yesus Kristus yang disalibkan terkandung unsur-unsur demonik yang harus diwaspadai. Sudah seharusnya, soteriologi salib (soteriologia crucis) diusahakan diganti dengan suatu soteriologi lain, misalnya soteriologi yang berpusat bukan pada azab dan kematian Yesus (disebut sebagai soteriologi doloris atau soteriologi nekrosentris), melainkan soteriologi yang berpusat pada kehidupan Yesus (soteriologi biosentris) atau soteriologi yang berpusat pada kata-kata atau ajaran-ajaran Yesus (soteriologi logosentris).





2a) “Segala sesuatu… bertekuk lutut pada Yesus” (Filipi 2:10-11)



Pada bagian akhir dari sebuah madah kristologis yang dikutip Rasul Paulus dalam surat Filipi 2:5-11, terdapat sebuah pernyataan yang triumfalistik bahwa “dalam nama Yesus [akan] harus bertekuk lutut segala (pan) yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala (pasa) lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!”, pernyataan yang dalam Perjanjian Lama dikenakan hanya kepada Allah (Yesaya 45:23). Acuan kepada “segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” dan kepada “segala lidah” jelas menunjukkan bahwa pernyataan ini adalah suatu pernyataan eskatologis, pernyataan tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman ketika segala sesuatu ditaklukkan kepada Yesus yang bertindak sebagai “Tuhan semesta” yang kekuasaannya berlaku efektif atas segala sesuatu dalam jagat raya ini, dan yang namanya berada “di atas segala nama”, bukan suatu pernyataan tentang apa yang sekarang terjadi.



Gambaran atau keyakinan bahwa Yesus Kristus di akhir zaman akan menjadi sang penguasa atas segala sesuatu berhubungan erat dengan gambaran atau keyakinan bahwa di akhir zaman dia juga akan bertindak sebagai sang Hakim dunia yang akan menghakimi semua orang, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup (bdk. 1 Tesalonika 4:13-18; 2 Timotius 4:8; Matius 25:31-46). Pada sisi lain, dalam Matius 28:18 ditulis bahwa Yesus Kristus, setelah kebangkitannya, telah menerima “segala kuasa (pasa eksousia) di surga dan di bumi” dan dia yang memiliki segala kuasa ini berada atau hadir di tengah jemaatnya (Matius 18:20) dan menyertai mereka “sampai pada akhir zaman” (Matius 28:20). Maka lengkaplah gambarannya bahwa Yesus Kristus, sang Tuhan gereja, adalah juga sang Tuhan semesta, dan padanya sejak sekarang hingga akhir zaman segala kuasa terletak! Memakai ungkapan dari Kitab Wahyu, Yesus Kristus adalah “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Awal dan Yang Akhir” (Wahyu 21:6; 22:13; Wahyu 1:8, 17; 2:8), suatu gelar yang dalam Perjanjian Lama diberikan hanya kepada Allah YME (lihat Yesaya 44:6; 48:12).



Karena selalu ada inter-relasi antara dunia simbolik keagamaan dan kehidupan nyata sehari-hari atau realitas sosial, kepercayaan kristologis yang triumfalistik dan superior semacam ini tentu saja kapanpun juga akan menciptakan suatu komunitas Kristen yang memandang dirinya berada di atas semua komunitas keagamaan lainnya, dan mengungguli mereka. Kalau Tuhan mereka, Junjungan mereka, adalah Tuhan semesta, representasi Allah, sang Hakim di akhir zaman, pemilik segala kuasa di seluruh alam semesta, di bumi maupun di surga, pada masa kini maupun di akhir zaman, dan seluruh dunia akan takluk di bawah kakinya, maka merekapun sebagai komunitas yang dibangun sang Tuhan yang semacam ini berhak mengklaim posisi dan kedudukan superior berhadapan dengan komunitas-komunitas agama-agama lain.





2b) Dekonstruksi teks: membaca Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya



Kalangan Kristen yang sangat suka memakai teks Filipi 2:10-11 untuk memotivasi mereka menjadi penakluk dunia yang dibawa ke kaki Yesus untuk bertekuk lutut telah mencopot teks ini dari kaitan sastrawinya dengan teks-teks yang mendahuluinya. Kalau teks ini mau dibaca dan dipahami seutuhnya, kita harus pertama-tama membacanya dalam konteks sastranya, yakni keseluruhan teks Filipi 2:5-11 yang, seperti sudah dikatakan di atas, merupakan sebuah madah kristologis. Madah ini dimulai dengan pernyataan bahwa Yesus Kristus semula ada “dalam rupa Allah” (en morfēi theou), tetapi kemudian (kita boleh sebut, dalam inkarnasi) dia “mengosongkan dirinya sendiri” (heauton ekenōsen) dengan “mengambil rupa seorang hamba (morfē doulou) dan menjadi sama dengan manusia (en homoiōmati anthrōpōn).” Nah, ini adalah teologi kenosis, teologi pengosongan diri.



Menurut madah kristologis ini, kenosis Yesus ini begitu dalam, sampai ke tingkat yang paling rendah, dengan dia, yang sebetulnya “dalam rupa Allah”, menjadi seorang manusia dalam status budak (doulos; suatu status sosial yang sangat rendah dalam struktur sosial masyarakat Yunani-Romawi). Lebih jauh dikatakan, bahwa dalam statusnya sebagai manusia budak, Yesus terus “merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (thanatou staurou). Dalam kenosisnya, manusia budak yang bernama Yesus ini bahkan jauh lebih direndahkan bahkan dipermalukan dengan dia mati disalibkan. Hukuman mati dengan cara penyaliban adalah suatu bentuk hukuman mati Romawi yang dikenakan kepada para kriminal, yang dalam pandangan Yahudi adalah suatu bentuk kutuk ilahi (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).



Jadi, kristologi kenotik ini menempatkan Yesus dalam suatu situasi kehidupan dan kematian yang sangat direndahkan, dipermalukan dan terkutuk. Kenosis sampai ke tingkat yang paling memalukan ini adalah suatu ekstrimitas. Nah, penyusun madah kristologis ini membuat suatu ekstrimitas lainnya (sebagai lawan dari ekstrimitas yang pertama) dengan menggambarkan Yesus yang sudah berkenosis sangat dalam ini diberi pahala oleh Allah dengan “Allah sangat meninggikan dia (tentu maksudnya: melalui kebangkitan dan pengangkatannya ke surga, untuk berada bersama Allah) dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, ….” (Filipi 2:9-10). Jadi, tema perendahan dan tema pemuliaan/peninggian Yesus dalam madah kristologis ini lahir dari suatu gaya bahasa biner oposisional yang dipakai penulisnya dalam teksnya.



Nah, peninggian atau pemuliaan Yesus Kristus sampai dia menjadi representasi Allah YME sendiri, yang kepadanya segala sesuatu akan bertekuk lutut dan segala lidah akan mengakui ketuhanannya, terjadi hanya setelah dia melakukan kenosis sampai ke titik paling rendah dalam kehidupan manusia.



Jadi, sudah seharusnya kalangan Kristen yang memakai Filipi 2:10-11 sebagai landasan untuk menegakkan triumfalisme dan superiorisme mereka dalam berhadapan dengan umat-umat beragama lain tidak melupakan kristologi kenosis yang diajukan madah kristologis ini. Sebelum merasa besar dan super, sekarang maupun di akhir zaman, sudah seharusnya gereja juga mengosongkan dirinya, melepaskan sifat takabur mereka, membuang perasaan paling benar sendiri, meninggalkan pemujaan pada kekayaan dunia, melepaskan gerak imperialis dan ekspansionis mereka, menyamakan diri dengan orang-orang yang berstatus rendah dan terbuang dalam masyarakat, supaya dengan itu semua mereka dapat menghayati bagaimana menjalani kehidupan kenotik Yesus. Hanya dengan memahami teks Filipi 2:10-11 dalam konteks sastrawinya, teks ini tidak akan melahirkan suatu fundamentalisme Kristen atau suatu superiorisme dan triumfalisme Kristen yang bisa menyengsarakan dunia non-Kristen sekaligus juga dunia Kristen.





3a) “Tidak ada nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12)



Kisah Para Rasul (KPR) 4:12 lengkapnya berbunyi demikian, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia [=Yesus Kristus], sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain [oude gar onoma estin heteron] yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” Ini juga adalah suatu teks skriptural eksklusif triumfalis yang menjadi suatu landasan mengapa orang Kristen evangelikal fundamentalis “petantang-petenteng” menyatakan agama Kristen (versi mereka) sebagai agama yang benar satu-satunya dan Yesus Kristus mereka sebagai sang penyelamat satu-satunya untuk umat manusia sejagat raya di bawah matahari. Frasa “tidak ada nama lain” dari teks KPR ini, kita tahu, telah dipakai Paul F. Knitter sebagai judul sebuah bukunya namun dengan diberi tanda tanya olehnya, No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (terbit pertama kali 1985). Orang Kristen evangelikal tentu saja banyak yang tidak senang dengan buku kritis Knitter ini, karena dalam penilaian mereka Knitter telah meragukan atau menolak kebenaran berita Kitab Suci Kristen, tanpa mereka memerhatikan dan mengikuti dengan serius argumen-argumen kuat dan kritis yang diajukan Knitter.



Teks KPR 4:12 ini tidak akan menjadi suatu teks problematik jika ihwal “tidak ada nama lain yang olehnya kita diselamatkan” hanya diberlakukan untuk kalangan dalam sendiri, yakni kalangan Kristen. Tetapi, karena KPR ditulis bertolak dari suatu rencana induk (master plan) yang dituangkan dalam KPR 1:8 (“Kamu akan menjadi saksi-Ku [saksi Yesus Kristus] di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”) untuk mengkristenkan seluruh kawasan Yunani-Romawi (yang berpusat di kota Roma) pada zaman penulisnya, teks ini mengklaim bahwa “di bawah kolong langit” tidak ada penyelamat lain selain Yesus Kristus. Jadi kebutuhan misiologis ekspansif untuk mengkristenkan seluruh bumi memerlukan suatu dukungan dan pembenaran dari, atau melahirkan, suatu soteriologi (=ajaran tentang keselamatan) yang eksklusif dan berlaku global.



Sejak berdirinya anekaragam kekristenan di abad-abad pertama M, dan sejak ditulisnya beragam teks Kitab Suci Perjanjian Baru, gerak misiologis ekspansif ke seluruh muka bumi untuk mengkristenkan dunia sudah menjadi bagian dari penghayatan tugas dan panggilan gereja universal sepanjang sejarah kekristenan, yang lahir dari, atau dilegitimasi oleh, suatu soteriologi eksklusif dan triumfalistik. Politik ekspansionisme wilayah kekuasaan gereja berjalan bergandengan tangan dengan keharusan merumuskan soteriologi semacam ini.





3b) Dekonstruksi teks



Untuk mendekonstruksi penafsiran triumfalistik eksklusif atas teks KPR 4:12, teks ini harus dibaca dalam terang keseluruhan kitab KPR, dan khususnya harus ditempatkan dalam konteks sastrawi naratifnya (KPR 3-4). Telah diargumentasikan di atas, soteriologi eksklusif dan triumfalistik teks KPR 4:12 ini didorong atau dilegitimasi oleh suatu politik misiologis ekspansionis yang telah dicanangkan dalam KPR 1:8. Kalangan kekristenan evangelikal takut sekali jika diingatkan, atau kepada mereka diperlihatkan, bahwa teologi dan juga soteriologi Kristen banyak yang lahir atau disusun dari kepentingan-kepentingan politik gereja perdana maupun gereja masa kini.



Selanjutnya, kita perlu memerhatikan KPR 3-4:22 sebagai konteks naratif KPR 4:12. Ucapan dalam KPR 4:12 ini berasal dari Rasul Petrus dalam suatu wacana pembelaan dirinya ketika dia dan Rasul Yohanes diperiksa atau disidang oleh “para pemimpin Yahudi, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat” yang mengadakan sidang di Yerusalem, “dengan juga diikuti Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar” (KPR 4:5-6). Tentu saja, setiap pembaca kritis akan melihat bahwa jumlah dan kalangan yang menyidangkan Rasul Petrus dan Rasul Yohanes, dua “orang biasa yang tidak terpelajar” (KPR 4:13), sangat dibesar-besarkan. Di sini, penulis KPR memakai suatu gaya bahasa hiperbolik, gaya bahasa pembesar-besaran sesuatu, jauh melampaui kenormalan. Gaya bahasa hiperbolik ternyata juga sudah dimunculkan sebelumnya oleh penulis KPR, ketika dia menceritakan bahwa “seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahirnya sehingga dia harus diusung” (KPR 3:2), yang “sudah berusia lebih dari empat puluh tahun” (KPR 4:22), disembuhkan oleh Petrus dengan “memakai nama Yesus Kristus” (KPR 3:6). Selanjutnya dituturkan bahwa orang yang sudah disembuhkan ini, dengan “kaki dan mata kaki orang itu menjadi kuat” (KPR 3:7), “melonjak berdiri lalu berjalan kian kemari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat” (KPR 3:8). Penyembuhan sebagai mukjizat semacam ini hanya ada dalam suatu narasi hiperbolik, tidak ada dalam kenyataan sejarah.



Nah, kita bisa rangkum sekarang. Dalam konteks narasi hiperbolik KPR 3-4:22, teks KPR 4:12 dengan demikian juga adalah suatu pernyataan hiperbolik, pernyataan soteriologis dan kristologis yang dibesar-besarkan. Kristologi dan soteriologi yang dibesar-besarkan tidak perlu ditanggapi dengan serius. Selain itu, Rasul Petrus harus membuat pernyataan kristologis dan soteriologis yang eksklusif dan triumfalistik dalam KPR 4:12 ini karena dia sedang membela dirinya di hadapan pemeriksaan oleh orang-orang yang berkedudukan penting dan banyak jumlahnya. Tentu saja, pembelaan diri dalam konteks ini mengharuskannya memakai gaya bahasa hiperbolik, minimal untuk membuatnya percaya diri dan menimbulkan keraguan di dalam diri para penyidiknya. Dalam narasi KPR 3-4:22, frasa “nama Yesus” ternyata muncul 6 kali (KPR 3:6, 16; 4:7, 10, 12). Jadi, tidaklah kebetulan kalau penulis KPR perlu membuat Rasul Petrus membuat pernyataan tentang nama Yesus dan fungsinya dalam pekerjaan penyelamatan ilahi atas umat manusia sejagat raya, dengan memakai gaya bahasa hiperbolik. Sekali lagi, soteriologi hiperbolik tentu saja tidak perlu terlalu serius dipikirkan, apalagi dipercaya mentah-mentah.





4a) Yesus Kristus “satu-satunya jalan” kepada Allah (Yohanes 14:6)



Sudah merupakan suatu fakta bahwa teks Yohanes 14:6 adalah suatu teks yang paling sering dikutip orang Kristen untuk mendukung keyakinan dan pandangan mereka bahwa agama Kristen adalah satu-satunya agama yang benar dan Yesus Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan, jalan untuk orang dapat sampai kepada Allah. Teks ini, yang ditemukan hanya dalam Injil Yohanes (dan tidak ditemukan dalam Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, injil-injil yang ditulis mendahului penulisan Injil Yohanes), diucapkan oleh Yesus sendiri, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”



Dalam Injil Yohanes, jalan (hē hodos), kebenaran (hē alētheia) dan hidup (hē zōē) adalah hal-hal surgawi yang menjadi kelihatan dan nyata dalam dunia ini di dalam diri Yesus, atau hal-hal yang membawa orang kepada kehidupan surgawi, kepada perjumpaan dengan Allah, ke “rumah Bapa” (Yohanes 14:2). Semua hal surgawi ini, oleh penulis Injil Yohanes diklaim hanya ditemukan pada diri Yesus Kristus sebagai sang Firman (ho logos) yang memiliki kepra-adaan, yang “pada mulanya” ada “bersama-sama” dengan Allah dan yang “adalah” Allah (Yohanes 1:1), dan yang “telah menjadi daging” (Yohanes 1:14); atau sebagai Anak Manusia surgawi yang berpraada (Yohanes 3:13; 6:38; 6:46) yang telah mengambil bentuk daging (Yohanes 6:51). Sebagai suatu hakikat surgawi yang berpraada, Yesuslah, dalam kepraadaannya, satu-satunya “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” yang “pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18). Jadi, dapat dirangkum, bahwa karena Yesus adalah satu-satunya Hakikat surgawi (a heavenly being) yang berpraada dan satu-satunya yang telah melihat Allah dan bahkan adalah Allah sendiri yang telah menjadi daging, maka hanya lewat Yesuslah manusia bisa tiba ke rumah Bapa, kepada Allah, sebagai capaian terakhir keselamatan. Ringkas kata, bagi penulis Injil Yohanes, orang hanya bisa sampai kepada Allah hanya lewat diri Allah sendiri, yakni Allah yang telah mengambil rupa seorang manusia (“menjadi daging”), yaitu Yesus Kristus.



Benarlah jika dinyatakan bahwa, dibandingkan dengan injil-injil sinoptik (Markus yang ditulis tahun 70, Matius dan Lukas antara tahun 80-85), Injil Yohanes (yang ditulis belakangan, antara tahun 90-100) adalah injil yang paling berpengaruh kuat dalam pembentukan pemikiran kristologis gereja-gereja di kemudian hari, pada abad-abad ke-4 dan ke-5 ketika konsili-konsili ekumenis gereja-gereja (umumnya) Barat (yang berbahasa Latin) diadakan (Konsili Nikea tahun 325; Konsili Konstantinopel tahun 381; dan Konsili Khalsedon tahun 451), yang memandang Yesus sehakikat (Yunani: homoousios; Latin: Una Substantia) dengan Allah, dan bukan makhluk yang diciptakan (dari ketiadaan). Perselisihan tajam yang sering berakhir dengan pertumpahan darah di jalan-jalan antara Arius dan Athanasius pada zaman patristik boleh dikata adalah perselisihan di sekitar persoalan apakah Yesus itu manusia sepenuhnya (pandangan Arius) atau apakah Yesus itu Allah sepenuhnya (pandangan Athanasius). Perselisihan teologis-kristologis ini memang pernah dicoba diselesaikan dengan suatu rumusan inklusif bahwa Yesus Kristus adalah manusia sepenuhnya sekaligus Allah sepenuhnya.



Tetapi, sampai di abad ke-21 ini, tetap saja terjadi ketegangan dalam kehidupan gereja-gereja sedunia, antara kelompok yang memegang keyakinan bahwa Yesus itu Allah sepenuhnya dan kelompok yang menganut kepercayaan bahwa Yesus itu manusia biasa. Nah, kelompok pertama (yakni kekristenan evangelikal) adalah kelompok yang paling agresif untuk menkristenkan dunia, menjadikan dunia “bertekuk lutut” di kaki Allah yang bernama Yesus, dan kelompok ini menolak untuk mendiskusikan atau mendialogkan klaim eksklusif mereka ini bahwa Yesus adalah Allah yang sesungguhnya, dengan umat-umat beragama lain yang juga tentunya memegang klaim-klaim kebenaran yang bisa sama eksklusifnya. Sedangkan kalangan yang liberal, yang memandang Yesus sebagai seorang manusia biasa (meskipun mungkin memiliki kualitas kehidupan moral yang berada di atas rata-rata manusia kebanyakan), membuka diri untuk berdialog dan melihat kehidupan beragama sebagai suatu ziarah yang tidak pernah selesai.





4b) Dekonstruksi teks



Seperti telah ditegaskan di atas, teologi skriptural dan ekstra-skriptural apapun ketika dirumuskan tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politis si perumusnya atau komunitasnya. Beragama adalah berpolitik (apalagi di dalam suatu dunia yang belum mengenal sekularisme). Demikian juga, Yohanes 14:6, bahkan seluruh bangunan pemikiran kristologis “dari atas” (high christology) dan soteriologi eksklusif triumfalistik dalam injil ini, adalah “sebuah ideologi perlawanan” Kristen (-Yahudi) yang ditemukan dan dirumuskan oleh komunitas Yahudi-Kristen Yohanes ketika komunitas ini sudah dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos genētai, seperti kita dapat baca dalam Yohanes 9:22; 12:42; 16:2) dan mengalami penindasan dan penganiayaan (Yohanes 16:2; 16:33b), pemeriksaan, dan pemutusan komunikasi dengan orang Yahudi di sinagog (Yohanes 10:20). Dalam konteks sosio-politis semacam inilah, konteks sosio-politis religius suatu komunitas minoritas yang dianiaya, ditolak dan diasingkan, kristologi “dari atas” atau soteriologi eksklusif dalam Injil Yohanes adalah “an ideology of revolt”, seperti menjadi judul sebuah buku yang ditulis Jerome H. Neyrey, An Ideology of Revolt: John’s Christology in Social-science Perspective (1988).



Berikut ini gambaran ringkas sejarah komunitas Yohanes. Semula komunitas Yohanes memberitakan kepada orang Yahudi di sinagog bahwa Yesus adalah sang Mesias Yahudi yang dinantikan, sang Nabi yang dikatakan “seperti” Nabi Musa. Tentu saja pemberitaan mereka ini semula berhasil; banyak orang Yahudi sinagog beralih menjadi anggota komunitas Yohanes. Tetapi para pemuka agama Yahudi di sinagog tidak suka melihat keberhasilan pekabaran injil komunitas Yohanes. Mereka lalu melakukan aktivitas penafsiran Kitab Suci (midrash) untuk membuktikan bahwa Yesus dari Nazaret tidak memenuhi syarat-syarat religio-politis untuk menjadi atau dipercaya sebagai sang Mesias Yahudi. Bersamaan dengan aktivitas midrash ini, dengan satu dan lain cara mereka juga berhasil mengucilkan orang-orang Yahudi-Kristen Yohanes dari sinagog. Sebagai reaksi perlawanan, komunitas kecil Yohanes mengajukan klaim-klaim kristologis yang lebih radikal (masih dalam koridor “low christology”): Yesus menggantikan bahkan menghancurkan seluruh bangunan Yudaisme dan semua pilar dan ritusnya, termasuk semua orang suci Yahudi bahkan bangsa Israel sendiri, dan semua hari suci Yahudi dan semua pranata keagamaan Yahudi.



Sebagai respons terhadap klaim-klaim kristologis yang lebih radikal ini, orang-orang Yahudi di sinagog meningkatkan penderaan, pemeriksaan dan pengucilan terhadap anggota-anggota komunitas Kristen Yohanes. Ketika komunitas ini hampir secara psikologis dan fisikal tidak bisa tahan lagi menghadapi serangan dan kebencian orang Yahudi sinagog, yang mereka pandang sebagai keturunan “Iblis”, mereka mencari penguatan dan pegangan ideologis yang lebih bisa menolong dan menguatkan mereka. Di poin inilah mereka menemukannya dalam “high christology”: Yesus adalah Allah; kerajaannya bukan dari dunia ini; ketika dia “turun”ke dalam dunia ini (dan “menjadi manusia”), dia ditolak oleh bangsanya sendiri dan oleh dunia yang membencinya; para pengikut Yesus dengan demikian juga mengalami apa yang dialami Yesus: mereka ditolak oleh dunia; dan Yesus menjanjikan kepada mereka untuk, lewat dirinya satu-satunya, akan sampai “ke rumah Bapa”.



Nah, kristologi “dari atas” adalah suatu ideologi perlawanan dan pertahanan diri yang dirumuskan oleh komunitas minoritas Yohanes, ketika komunitas ini ditolak, diasingkan dan didera oleh dunia ini. Semakin suatu komunitas minoritas dianiaya dan terancam musnah, semakin radikal komunitas ini dalam mencari kekuatan dalam suatu ideologi yang eksklusif dan triumfalistik. Yohanes 14:6 adalah bagian dari seluruh bangunan kristologi “dari atas” komunitas ini; teks ini, yang diciptakan oleh penulis injil ini, menghapuskan semua mediator Yahudi sebagai mediator-mediator yang tidak bisa membawa orang kepada keselamatan, tiba pada Allah. Hanya lewat Yesus, Allah komunitas Yohanes, keselamatan akan dialami. (Tetapi klaim bahwa Yesus itu Allah ternyata kebablasan, sehingga ada sebagian anggota komunitas Yohanes yang menganut doketisme, paham yang menolak kemanusiaan Yesus, karena itu ditulislah kritik tajam pada doketisme ini dalam 1 Yohanes 4:2-3; dan 2 Yohanes 7). Jika asal-usul teks Yohanes 14:6 telah dapat dipahami dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, teks ini tidak perlu melahirkan fundamentalisme Kristen atau sikap “gagahan-gagahan” orang Kristen.





5. Penutup



Di atas telah dilakukan dekonstruksi kritis atas soteriologi salib, teks-teks triumfalistik skriptural Filipi 2:10-11, Kisah Para Rasul 4:12 dan Yohanes 14:6. Usaha dekonstruksi ini berhasil memperlihatkan bahwa doktrin utama kekristenan tentang keselamatan lewat salib Yesus dan teks-teks eksklusif dan triumfalistik ini, jika dipahami dengan kritis dan dalam konteks sastrawi dan konteks sejarahnya, sama sekali tidak memberi legitimasi skriptural apapun pada fundamentalisme, eksklusivisme dan triumfalisme Kristen. Hanya pemahaman yang tidak kritis dan bodoh terhadap doktrin penyelamatan melalui kayu salib Yesus, dan terhadap teks-teks skriptural eksklusif triumfalistik ini, memungkinkan timbulnya fundamentalisme dan triumfalisme Kristen.



by Ioanes Rakhmat



Untuk kajian lebih komprehensif dan lebih mendalam tentang fundamentalisme Kristen, baca tulisan-tulisan saya di situs-situs ini:

http://www.ioanesrakhmat.com/2008/02/ciri-ciri-fundamentalisme-kristen.html

http://www.ioanesrakhmat.com/2008/02/lima-pokok-doktrin-fundamentalisme.html

http://www.ioanesrakhmat.com/2008/11/fundamentalisme-zionis-yahudi-kristen.html

Fiksi dan Fakta Sejarah dalam Alkitab

Orang yang saleh beragama biasa akan menyatakan bahwa setiap kitab suci pasti tidak salah dalam segala hal yang dikatakannya. Ini adalah sebuah pandangan yang disebut doktrin “inerrancy of the Scripture”; dengan doktrin ini, semua hal yang dituangkan dalam dokumen-dokumen Kitab Suci, apapun juga jenis sastranya (literary genre), dipandang sebagai fakta sejarah. Dengan demikian, kitab suci yang sebenarnya adalah kitab keagamaan, kitab asmara antara si mukmin dengan allahnya, diperlakukan sebagai sebuah buku sejarah. Benarkah cara pandang dan perlakuan yang semacam ini? Hemat penulis, sama sekali tak benar. Berkaitan dengan Alkitab, secara emblematik penulis mau katakan bahwa kitab suci gereja ini paling banter memuat fakta sejarah sebanyak 20 persen, sedangkan sisanya, 80 persen, adalah fiksi.

Hal yang mau ditelusuri dalam makalah ini adalah relasi antara fiksi dan fakta dalam kitab suci, dengan fokus pada Alkitab. Untuk itu, pertama-tama kita perlu mendapatkan kejelasan apa itu fiksi dan apa itu sejarah. Selanjutnya dikemukakan tiga pendekatan epistemologis terhadap sejarah (objektivisme, subjektivisme, dan interaktivisme), lalu menyusul suatu uraian tentang unsur fiksi dalam sejarah dan unsur sejarah dalam fiksi. Kemudian diperlihatkan bahwa dalam setiap kitab suci unsur fiksi sudah menyatu dengan unsur sejarah. Kalau fiksi dalam kitab suci dapat berupa mitologi-mitologi, maka dalam zaman penulisan kitab-kitab suci kuno yang belum mengalami sekularisasi, mitologi-mitologi dipandang para penulisnya sebagai sejarah dan sejarah sebagai mitologi, karena dunia adikodrati (dunia mitologi) tidak dipisahkan dari dunia kodrati (dunia sejarah), dan juga sebaliknya. Namun, dalam banyak kasus, melalui upaya demitologisasi dalam hermeneutik modern, fiksi dalam kitab suci dapat dipilah-pilah dan dipisahkan dari sejarah dan juga sebaliknya.



Dalam zaman modern, kita umumnya telah biasa memakai nalar, logika dan sains, serta hukum-hukum alam (the laws of nature) yang tetap dan abadi, dan pengalaman sejarah, untuk menentukan mana fiksi dan mana fakta. Dengan cara inilah kita menilai bahwa semua kisah mukjizat dalam kitab suci apapun, khususnya dalam Alkitab, adalah kisah fiktif, bukan kisah historis. Praktek semacam ini tidak dikenal oleh para penulis kitab suci yang hidup dalam zaman pramodern dan prailmiah, di mana mukjizat dipandang sebagai bagian dari pengalaman dunia sehari-hari, karena Allah dipercaya berada dalam dunia sehari-hari dan dapat dengan bebas melanggar “hukum-hukum alam” (yang tentu saja belum diobservasi secara saintifik oleh para penulis kitab-kitab suci kuno) untuk mendatangkan mukjizat.



Jika 80 persen tulisan dalam kitab suci adalah fiksi, maka, pertanyaan krusialnya adalah, apakah iman keagamaan yang dilandaskan pada fiksi, bukan pada fakta sejarah, adalah suatu iman yang dapat dibenarkan, iman yang sehat. Pertanyaan semacam ini bermakna dan fungsional hanya bagi orang yang meyakini bahwa beriman adalah juga suatu aktivitas epistemologis dan hermeneutis yang harus berpijak pada fakta, bukan pada fiksi. Sedangkan bagi bagian terbesar umat beragama, iman membuat fiksi menjadi fakta, dan beriman tak memerlukan suatu bukti empiris objektif tentang isi iman mereka (misalnya bahwa Allah itu ada). Ya, sesungguhnya bagi mereka yang beriman semacam ini, hidup beriman adalah hidup dalam dunia fiksi. Fiksi memang bisa membuat orang dapat hidup bermoral baik, juga terhibur, happy, meskipun lebih besar kemungkinannya menjadikan orang hidup dalam suatu dunia khayalan dan delusi (= kepercayaan yang salah tetapi dengan kuat tetap dipertahankan) yang mematikan nalar dan logika sehingga dapat membahayakan dunia, lalu akhirnya menjadikan mereka para penghuni suatu rumah sakit jiwa. Karena bahaya semacam inilah, setiap agama, hemat penulis, harus dibawa ke meja bedah pengkajian saintifik untuk membuktikan kebenaran atau kesalahannya, bukan hanya sekadar dipercaya saja dengan membuta tanpa disokong bukti-bukti empiris dan penalaran logis.



Penghayatan beriman yang semacam ini, yang tidak memerlukan dukungan suatu bukti sejarah apapun, ternyata bisa ditolerir oleh penemuan akan adanya empat peringkat makna dalam semua dokumen kitab suci. Makna harfiah historis kontekstual dari sebuah teks suci, yang sangat penting bagi para penafsir historisis, hanyalah salah satu makna saja, yang bisa ditandingi oleh makna-makna lainnya, yang muncul sebagai sensus plenior, “makna yang lebih penuh” atau “makna yang lebih dalam” (yang konon dikehendaki Allah, meskipun tak dikehendaki si manusia penulisnya). Nah, makalah ini ditutup dengan suatu uraian tentang sensus plenior ini.





Definisi fiksi dan sejarah



Apa yang dimaksud dengan “fiksi”? KBBI edisi ketiga (2005) mendefinisikan fiksi sebagai: a) cerita rekaan; b) rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan; c) pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Michael Wood mendefinisikan fiksi sebagai “invensi (= ciptaan imajinatif) murni”, “segala jenis fabrikasi.”/1/ Meriam Webster’s Collegiate Dictionary (edisi kesepuluh: 1993) mendefinisikan fiksi sebagai “sesuatu yang diciptakan oleh imajinasi” (khususnya sebuah kisah rekaan).” Jadi jelas bahwa fiksi adalah sebuah reka-rekaan, suatu khayalan, bukan sebuah fakta, bukan suatu peristiwa sejarah faktual.



Tetapi apakah sejarah itu? KBBI edisi ketiga mendefinisikan sejarah sebagai “kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau” dan sebagai “pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.” Meriam Webster’s Collegiate Dictionary mendefinisikan sejarah (history) sebagai “peristiwa-peristiwa di masa lampau” dan sebagai “suatu catatan kronologis mengenai peristiwa-peristiwa penting (yang memengaruhi suatu bangsa atau suatu lembaga), yang seringkali mencakup sebuah penjelasan tentang sebab-musabab peristiwa-peristiwa itu.” Keadaan “benar-benar terjadi di masa lampau” yang timbul karena “sebab-musabab” tertentu inilah yang membedakan sejarah dari fiksi yang merupakan “rekaan” atau “khayalan.”





Objektivisme, subjektivisme, dan interaktivisme



Tetapi definisi tentang “sejarah” yang baru dikemukakan di alinea di atas tidak menyatakan apakah “peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau” itu dapat direkonstruksi oleh manusia pada masa kini dengan sepenuhnya objektif, tanpa melibatkan sama sekali diri si sejarawan dan dunianya pada masa kini. Objektivisme historis semacam ini dikenal juga sebagai positivisme atau historisisme, yang menurut hemat penulis adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam setiap upaya memahami dan menjelaskan masa lampau. Bahwa objektivisme historis tak pernah ada terbukti dari adanya lebih dari satu versi historiografi tentang satu peristiwa di masa lampau, yang menunjukkan bahwa ada faktor subjektif dari diri si sejarawan dan dunianya di masa kini yang ikut bermain dalam dia merekonstruksi suatu kejadian di masa lampau.



Pada ujung ekstrim lainnya dalam orang berhubungan dengan sejarah terletak subjektivisme, atau dikenal juga sebagai fenomenalisme atau narcissisme atau solipsisme historis, yang memandang bahwa suatu rekonstruksi sejarah sepenuhnya adalah sebuah proyeksi kepentingan subjektif diri si sejarawan dan dunianya pada masa kini ke masa lampau. Subjektivisme historis semacam ini jelas menutup mata pada suatu kenyataan bahwa di dalam suatu uraian sejarah apapun kita masih bisa mendapatkan fakta-fakta yang terjadi di masa lampau (yakni: apa peristiwanya, kapan terjadinya, di mana terjadinya, siapa yang terlibat) kendatipun diri si sejarawan dan dunianya pada masa kini terlibat secara signifikan dalam setiap usaha merekonstruksi masa lalu.



Karena itu, hemat penulis, suatu posisi yang seimbang dalam setiap upaya merekonstruksi masa lampau adalah suatu posisi tengah antara objektivisme dan subjektivisme. John Dominic Crossan, antara lain, merumuskan posisi tengah ini dengan baik, ketika dia menyatakan bahwa sejarah adalah “masa lampau yang direkonstruksi secara interaktif dengan masa kini melalui bukti-bukti yang diperdebatkan di dalam wacana publik.”/2/ Crossan menyebut posisinya ini sebagai interaktivisme atau dialektika historis atau relasionisme atau relativisme.





Fiksi dalam setiap historiografi



Dengan memakai epistemologi interaktivisme dalam upaya mendapatkan suatu pengetahuan yang absah mengenai masa lampau, terbukalah suatu kemungkinan untuk memandang bahwa suatu uraian sejarah (suatu historiografi) bisa juga sebagian daripadanya berisi fiksi yang dimasukkan oleh si sejarawan ke dalam historiografinya, sementara dia juga membangun historiografinya dengan memakai bukti-bukti sejarah (material, tekstual dan oral) yang andal dan dapat diperdebatkan dalam suatu diskursus publik. Michael Wood menegaskan bahwa sejarah, bahkan sejarah yang tergolong paling dapat dipercaya, dapat dilihat berisi unsur-unsur fiksi, sementara novel-novel, yang termasuk ke dalam suatu dunia invensi sastrawi, dapat berfungsi sebagai dokumen-dokumen sejarah./3/ Charles W. Hedrick bahkan juga menyatakan bahwa sejarah adalah “suatu konstruk mental fiktif.”/4/ Dalam suatu historiografi Indonesia yang disusun rezim Orde Baru tentang peralihan kekuasaan politik dari rezim Orde Lama ke rezim Orde Baru, bukankah Supersemar itu sebuah fiksi? Lalu, tidak kurang contohnya untuk orang dapat menyatakan bahwa banyak novel ditulis dalam suatu konteks sejarah yang dikenal dengan sangat baik oleh si penulis novel, dan dengan demikian novelnya ini juga menjadi sebuah media penyampai dan penafsir sejarah, kendatipun novel umumnya tidaklah termasuk ke dalam genre historiografi.



Karena suatu tulisan sejarah dapat juga memuat fiksi, maka dapat dipahami jika Feeney menyatakan bahwa perbedaan antara sejarah dan epik tidaklah berhubungan dengan apa yang kita dapat sebut “historisitas” (yakni apakah sesuatu itu sungguh telah terjadi atau tidak), melainkan suatu persoalan mengenai derajat “kefiktifan” yang diterapkan dalam suatu pengisahan./5/ Tentu saja, hemat penulis, derajat kefiktifan suatu tulisan sejarah haruslah sangat kecil jika memang tulisan sejarah ini mau atau harus digolongkan sebagai suatu tulisan sejarah, dan bukan suatu fiksi. Sebaliknya juga, suatu karya fiksi yang derajat kefiktifannya minim tidak pantas lagi disebut sebagai suatu fiksi, dan dalam setiap karya fiktif sudah dengan sendirinya unsur-unsur sejarah bisa ada sangat minimal atau malah tidak ada sama sekali. Dan tentu saja, seperti dikatakan Crossan, setiap sejarah adalah suatu kisah, tetapi tidak setiap kisah adalah sejarah,/6/ yaitu jika kisah ini sepenuhnya fiktif. Bagaimanapun juga, kita semua tentu sepakat, bahwa suatu tulisan yang digolongkan sebagai tulisan sejarah haruslah berisi fakta-fakta di masa lampau, fakta-fakta yang ditatasusun ulang atau direkonstruksi dengan tidak terlepas dari hermeneutik si sejarawan, hermeneutik yang mengharuskannya memahami dan menafsirkan masa lampau secara interaktif dengan masa kini dalam dunianya. Jadi, dalam pandangan moden, tetap harus bisa dibedakan mana suatu kisah fiktif (fictional narrative) dan mana suatu kisah sejarah (historical narrative), kendatipun dalam setiap kisah sejarah bisa ada unsur-unsur fiktifnya yang dapat mengambil bentuk sebagai “muatan-muatan politis” dari si sejarawan dalam suatu pengisahan sejarah, atau sebagai “muatan-muatan mitologis” dari seorang sejarawan yang bertutur tentang sejarah kelahiran suatu agama atau suatu bangsa di muka Bumi.





Dalam kitab suci, fiksi dan sejarah menyatu



Dunia yang di dalamnya kitab-kitab suci kuno ditulis adalah suatu dunia pramodern dan prailmiah yang tidak mengenal pemisahan antara dunia adikodrati dan dunia kodrati, antara dunia allah-allah dan dunia manusia, suatu dunia yang belum mengalami “disenchantment of the world” (Entzauberung der Welt), suatu dunia yang belum “kehilangan kekeramatannya”, suatu dunia di mana allah-allah dan dewa-dewi serta para malaikat yang gaib dan keramat, dan juga jin-jin dan setan-setan, bertatap muka dan bergaul bersama dengan manusia, suatu dunia yang belum mengalami sekularisasi./7/



Menurut suatu tuturan dalam Tenakh Yahudi (=Perjanjian Lama orang Kristen), di Tamen Eden di Bumi (di kawasan Mesopotamia), Tuhan Allah konon bergaul akrab dengan manusia, Adam dan Hawa, dan di taman ini “Tuhan Allah berjalan-jalan pada waktu hari sejuk” (Kejadian 3:8). Di dalam dunia ini, “anak-anak Allah melihat bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka” (Kejadian 6:2).



Bahkan dalam Kejadian 6-9, dikisahkan bahwa Tuhan sanggup memantau semua manusia yang hidup di muka Bumi dan perilaku mereka masing-masing, dan Dia mendapati bahwa kejahatan mereka sudah sangat besar dan segala kecenderungan mereka jahat semata-mata. Karena itu Yahweh sangat menyesal, lalu memutuskan untuk melenyapkan mereka. Dalam Kejadian 6:7 ditulis bahwa Tuhan berfirman, “Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka Bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal bahwa Aku telah menjadikan mereka.” Tidak dijelaskan oleh si penulis bagian kitab Kejadian ini mengapa murka Allah atas dosa manusia bisa merembet ke Bumi dan ke dunia hewan sehingga hewan-hewanpun (yang tak memiliki kesadaran diri dan karenanya tak mengenal masalah moralitas) mau dibinasakan oleh sang Tuhan penghukum ini (Kejadian 6:13). Hanya Nuh, “seorang yang benar dan tidak bercela” (Kejadian 6:9), dan keluarganya serta sejumlah pasangan binatang yang ikut bersamanya masuk ke dalam bahtera, diselamatkan dari penghukuman habis-habisan oleh Tuhan ini. Tak ada suatu pergumulan teologis yang serius dan berat dalam diri penulis bagian kitab Kejadian ini tentang kehendak Allah untuk dengan tega membinasakan seluruh muka Bumi; si penulis ini hanya menerima saja bahwa Yahweh adalah Tuhan atas seluruh muka Bumi dan segenap penghuninya, karena Tuhan inilah yang telah menciptakan semuanya. Tidak ada pemikiran dalam dirinya bahwa Bumi dan segenap isinya, termasuk manusia, memiliki otonomi di hadapan Tuhan penghukum semacam ini.



Dalam Perjanjian Baru, dikatakan bahwa Allah masuk ke dalam dunia manusia dengan “menjadi daging” (= manusia) (Yohanes 1:14a). Dalam bagian permulaan Injil Matius dan Injil Lukas kita baca dua buah kisah yang sangat berbeda (dan tak bisa diharmonisir) tentang kelahiran Yesus dan kejadian-kejadian yang menyelubunginya yang dibuat oleh makhluk-makhluk adikodrati di dalam kelahiran ini, antara lain bahwa janin Yesus “dikandung dari Roh Kudus” yang menghamili Maria (Matius 1:18; Lukas 1:31, 35), dan bahwa pada saat Yesus dilahirkan bala tentara surgawi menaikkan madah-madah pujian (Lukas 2:13-15) dan para malaikat menyampaikan pesan-pesan surgawi (Lukas 2:8-12 ). Kita tahu, dalam hampir seluruh dokumen Perjanjian Baru, para penulisnya mewartakan bahwa Tuhan Allah tidak membiarkan Yesus dari Nazaret dikalahkan oleh kematian melalui penyaliban, dengan sang Tuhan Allah ini dari dunia adikodrati mendatangi kubur Yesus (konon via beberapa malaikat) di dunia kodrati, lalu membangkitkannya dari antara orang mati.



Bagi kita yang hidup dalam zaman modern yang sudah tersekularisasi, yang sudah terbiasa untuk memisahkan fakta dari fiksi dengan memakai nalar, logika, sains modern, hukum-hukum alam dan pengalaman historis untuk memilah-milah, jelaslah bahwa: Taman Eden yang serba lengkap adalah fiksi (yang malah dalam Wahyu Yohanes 22:1-2 dipandang sebagai suatu taman di masa depan, bukan di masa lalu); sepasang manusia dewasa pria dan wanita yang tidak memiliki pusar karena diciptakan dari tanah dan langsung dewasa adalah fiksi (sebaliknya, jika mereka diciptakan sebagai sepasang bayi dulu juga adalah fiksi, sebab keduanya pasti akan mati karena tak ada orangtua yang merawat dan memberi mereka susu);/8/ seekor ular yang bisa berbicara mempedaya dan meyakinkan Hawa adalah fiksi; buah pohon pengetahuan yang jika dimakan membuat si pemakan langsung cerdas (minimal secara moral) adalah fiksi; dan bahkan Tuhan Allah yang berkaki dan bertangan dan bermulut yang berjalan-jalan di Taman Eden pada hari-hari sejuk adalah juga fiksi. Demikian juga, anak-anak Allah yang dikuasai berahi lalu mengawini anak-anak perempuan manusia adalah fiksi yang terang-benderang.



Kisah alkitabiah tentang air bah yang melanda muka Bumi yang konon terjadi pada masa Nuh hidup ternyata dalam banyak rinciannya sejajar dengan kisah tentang banjir besar yang dikisahkan dalam Epik Gilgamesh (yang disusun pada millennium ketiga S.M.)./9/ Kita, dengan demikian, bisa dengan yakin menyatakan bahwa kisah alkitabiah tentang air bah ini ditulis sebagai sebuah fiksi mitologis dengan memanfaatkan epik akbar ini sebagai suatu sumber utamanya. Kita tahu ada banyak usaha untuk menyebarkan “junk science” (= sains rongsokan) yang seolah telah “membuktikan” bahwa air bah pada zaman Nuh dan bahteranya adalah sebuah kejadian historis dan sebuah benda faktual, bukan sebuah fiksi mitologis, seperti dengan tidak tahu malu sedang dilakukan oleh Noah’s Ark Ministries International (NAMI)./10/



Begitu juga, keyakinan bahwa Yesus dari Nazaret adalah Allah-yang-menjadi-daging adalah sebuah fiksi, karena tak bisa dibuktikan sama sekali sebagai sebuah fakta, sementara dapat dengan jelas dibuktikan bahwa daging manusia adalah perpaduan materi (pada level yang paling fundamental terdiri atas elektron, u-quark, dan d-quark) dan zat-zat kimiawi . Kalau orang Kristen berkeras bahwa mereka mengimani dengan kuat bahwa Yesus adalah Allah, maka iman yang kuat ini juga adalah fiksi. Berkaitan dengan tuturan injil tentang kelahiran Yesus, kita tahu dari sains biologi dan genetika bahwa tanpa kromosom dari pihak ayah, tak akan terbentuk sebuah janin manusia. Penulis-penulis Injil Matius dan Injil Lukas sama sekali tidak bermaksud memberitakan bahwa Yesus dari Nazaret dilahirkan melalui suatu cara kelahiran yang dinamakan parthenogenesis ("kelahiran perawan"), tetapi mau menyatakan bahwa sang ayah yang membuat Yesus dilahirkan adalah Allah sendiri, Roh Kudus, bukan manusia, dan karena itu Bunda Maria mau tak mau harus diteorikan masih murni perawan ketika mengandung Yesus. Allah betul-betul berada di dalam dan menyatu dengan diri Yesus dari Nazaret, sejak dari dalam kandungannya, bahkan, menurut Injil Yohanes 1:1, sejak “pada mulanya” di dalam dunia adikodrati. Protologi (= doktrin teologis tentang hal-hal yang ada pada mulanya) sejenis ini sama sekali tidak bisa menutup pintu bagi suatu pertanyaan krusial siapakah ayah insani Yesus dari Nazaret yang sesungguhnya. Jika Yesus adalah sesosok manusia pria yang hidup dalam dunia kuno, maka pasti dia memiliki bukan saja seorang bunda insani, tetapi juga seorang ayah insani. Soal krusial ini jelas dicoba ditutup-tutupi oleh kisah-kisah kelahiran Yesus dalam permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, yang ternyata dapat dikatakan “dibocorkan” juga di dalam Injil Yohanes (8:41) dan dalam Injil Thomas (logion 105) yang menyebut secara tidak langsung bahwa Yesus dilahirkan karena suatu perzinahan./11/ Jika Yesus dari Nazaret bukan suatu figur fiktif mitologis seperti diargumentasikan belakangan ini oleh sejumlah mythicists,/12/ melainkan seorang manusia historis, jelas Yesus yang historis ini pasti pernah mengalami kelahiran seperti manusia pada umumnya. Cuma, kisah-kisah kelahiran dalam Injil Matius dan Injil Lukas sudah menyatupadukan fakta sejarah kelahiran Yesus ini (di sebuah kota kecil Nazaret) dengan fiksi-fiksi mitologis seperti yang baru saja dibeberkan. Melalui suatu usaha demitologisasi, mana hal yang mitologis dan mana hal yang faktual historis dalam kisah-kisah kelahiran Yesus ini dapat dipilah-pilah dengan cermat untuk mendapatkan suatu “historical core”-nya: yakni hanya sebuah informasi bahwa Yesus dilahirkan di Nazaret dari seorang perempuan yang bernama Maria, dengan ayah insani yang tak jelas sosok dan identitasnya.



Konsisten dengan semua penilaian di atas, harus dikatakan bahwa Yesus yang sudah mati selama tiga hari dan mayatnya sudah membusuk hanya bisa dibangkitkan dalam fiksi, bukan dalam realitas faktual karena tak ada suatu kemungkinan kecil historis apapun bagi suatu mayat yang sudah membusuk bisa hidup lagi. DNA orang yang sudah mati pasti juga tak hidup lagi sehingga tidak akan ada lagi di dalam diri mayat ini suatu sekuen informasi genetik yang bisa memberi suatu instruksi kehidupan kepada zat-zat kimiawi protoplasmik yang mati. Bahwa Yesus mati disalibkan adalah betul suatu fakta sejarah, tetapi bahwa Yesus dibangkitkan adalah sebuah fiksi teologis yang dikarang untuk memberi suatu legitimasi teologis terhadap peristiwa kematian Yesus yang sangat memalukan umat Kristen perdana dulu, karena dipandang orang yang mati dikayusalibkan adalah orang yang terkutuk (Galatia 3:13; bdk Ulangan 21:23) dan berita bahwa keselamatan dicapai lewat kematian Yesus di kayu salib adalah, bagi orang di luar kekristenan, suatu kebodohan dan suatu batu sandungan (1 Korintus 1:23).



Semua hal yang dirujuk di atas, yang ditulis dalam Alkitab, adalah fiksi karena semuanya dapat diargumentasikan melalui suatu analisis saintifik sebagai sama sekali bukan fakta, tetapi hasil rekaan imajinasi kreatif manusia yang hidup pada masa pramodern dan prailmiah.



Pada zaman kuno ini para penulis kitab-kitab suci memakai beranekaragam mitologi ketika menjelaskan realitas dunia mereka yang tak terpisahkan dari dunia adikodrati imajiner dengan semua penghuninya (allah-allah, dewa-dewi, para malaikat, dan jin-jin serta setan-setan) yang juga serba imajiner. Dalam mengisahkan peristiwa-peristiwa faktual dalam sejarah atau dalam dunia kontemporer, para penulis kitab-kitab suci, Alkitab khususnya, juga memakai mitologi fiksional yang dipadukan dengan fakta-fakta sejarah. Dalam banyak kasus, fakta-fakta sejarah yang mereka bungkus dalam suatu mitologi jumlahnya malah sangat sedikit, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Mereka memadukan mitologi dengan sejarah; atau, lebih tepat, mereka tidak membuat pemisahan antara fakta sejarah dan fiksi mitologis. Realitas mereka pahami sebagai satu kesatuan tak terpisahkan antara dunia transendental adikodrati dan dunia imanen kodrati. Dunia khayangan di atas dan Bumi di bawah tak terceraikan. Seluruh realitas kehidupan bagi mereka penuh dengan kegaiban dan keramat. Mereka tidak mengenal apa yang manusia modern sebut sebagai genre sastrawi fiksi yang berkontras tajam dengan genre historiografi. Hal ini merupakan sebuah kenyataan bukan hanya dalam dunia Yahudi kuno, tetapi juga dalam dunia Yunani kuno. Dalam sebuah kajian komparatif atas sejumlah tulisan Plato, Christopher Gill menandaskan bahwa Plato sama sekali tidak membuat suatu pembedaan yang jelas antara wacana faktualnya dan wacana fiksionalnya; dan apa yang dilakukan Plato ini juga mencerminkan karakteristik luas pemikiran dan asumsi kultural dunia Yunani pada umumnya./13/





Hukum-hukum sains tak bisa dilanggar



Karena para penulis kitab-kitab suci kuno memandang bahwa dunia kodrati adalah juga arena tempat allah-allah dan dewa-dewi bersibuk diri dengan perkara-perkara insani dan perkara-perkara alamiah, maka, bagi mereka, senantiasa terbuka kemungkinan untuk allah-allah ini mencampuri jalannya apa yang pada zaman modern ini disebut sebagai hukum-hukum alam (the laws of nature). Bagi mereka yang memegang kosmologi kuno yang tak mengenal pemisahan antara dunia adikodrati dan dunia kodrati, alam berjalan karena semuanya diatur dan ditentukan dengan bebas oleh Allah. Tidak ada hukum-hukum alam yang berjalan sendiri lepas dari pengaturan dan kehendak Allah (seperti pada zaman modern dipertahankan dalam deisme). Karena itu, bagi mereka, mukjizat senantiasa merupakan pengalaman nyata dan keadaan yang tak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, mukijzat bukanlah hal yang tak masuk ke dalam nalar mereka; malah sebaliknya, nalar manusia kuno membutuhkan dan memberi tempat bagi mukjizat terjadi.



Dapatkah kekristenan yang memandang Alkitab sebagai wahyu ilahi menerima sains evolusi Darwinian? Tidak dapat!!



Tetapi, bagi orang modern, mustahil hukum-hukum alam dilanggar oleh suatu kekuatan apapun, sebab hukum-hukum ini berlaku tetap dan abadi sejak jagat raya ini terbentuk “dari ketiadaan”, seperti ditulis Stephen Hawking dalam sebuah buku terbarunya, The Grand Design, bahwa “Allah tidak dapat mencampuri jalannya jagat raya” yang sudah tercipta ex nihilo, dan bahwa “suatu hukum saintifik bukanlah suatu hukum saintifik jika hukum ini berlaku hanya apabila suatu makhluk adikodrati memutuskan untuk tidak mencampurinya.”/14/ Jadi, kalau bagi para penulis kitab-kitab suci kuno suatu mukjizat adalah sebuah realitas faktual yang terjadi karena Allah bebas melakukannya kendatipun sang Allah ini harus melanggar hukum-hukum alam yang sudah ditetapkannya, maka bagi kita yang hidup dalam zaman di mana sains modern menjelaskan segala sesuatu yang terdapat dalam dunia material, kisah-kisah tentang mukjizat dalam kitab-kitab suci adalah fiksi.



Tidak seperti yang umumnya dipertahankan kalangan agamawan yang mau menjelaskan agama mereka melalui sains modern, menurut antara lain fisikawan Victor J. Stenger,/15/ prinsip ketidakpastian (the principle of uncertainty) Werner Karl Heisenberg (yang diperkenalkan pada tahun 1927) dalam mekanika Quantum dan juga teori “kekacaubalauan” (chaos theory) dalam fisika dan kosmologi modern sama sekali tidak dapat dipakai untuk mendukung kemungkinan terjadinya mukjizat sebagai suatu peristiwa yang melanggar hukum-hukum sains.



Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa kita tidak bisa sama sekali pada waktu yang sama mengetahui dengan persis baik momentum suatu partikel subatomik elektron maupun posisinya dalam dunia subatomik. Prinsip ini hanya berlaku dalam dunia mikro, dunia subatomik partikel elektron, dan bukan dalam dunia makro (yang dikendalikan oleh hukum-hukum fisika Newtonian) yang mencakup pengalaman kehidupan sehari-hari di muka Bumi sampai realitas jagat raya yang mahabesar. Kalaupun untuk mendatangkan mukjizat, Allah bekerja dalam koridor “prinsip ketidakpastian” mekanika Quantum, tetap saja Allah ini melanggar prinsip ketidakpastian Quantum ini yang sebenarnya memiliki kemauan sendiri untuk bekerja dalam suatu ketidakpastian, dan tidak bisa dilanggar. Sistem mekanika Quantum secara statistikal bersifat deterministik, linier dan tidak menampakkan kekacaubalauan dalam aneka bentuk.



Menurut teori chaos (landasan empirisnya ditemukan secara kebetulan oleh Edward Lorenz pada 1961) suatu perubahan terkecil dalam kondisi-kondisi awal dapat menimbulkan suatu perilaku sistem yang berbeda secara dramatis, berubah menjadi chaos yang tampak tidak terprediksi. Atmosfir Bumi adalah sebuah contoh dari suatu sistem yang chaotic, yang bisa menimbulkan turbulensi cuaca mendadak dalam hubungannya dengan Bumi dan lautan. Otak manusia juga dapat berada pada “sisi-sisi pinggir kekacaubalauan”, karena dari kondisi yang stabil dan dapat diprediksi dalam banyak kesempatan tiba-tiba saja kerja otak dapat berubah dengan sangat cepat di bawah kondisi-kondisi tertentu yang pas. Begitu juga, kondisi “kacaubalau” yang diteorikan terjadi pada awal terbentuknya jagat raya adalah suatu kondisi yang berlangsung sebagai fenomena alamiah, yang bekerja menurut hukum fisika Newtonian dan sama sekali tak melibatkan suatu oknum adikodrati apapun yang dinamakan Allah. Menurut Victor J. Stenger, chaos dalam teori chaos adalah chaos yang deterministik./16/ Penulis mau memakai sebuah ilustrasi yang mudah-mudahan tepat. Kalau kita dapati kepribadian seseorang itu “kacaubalau” dan “berubah-ubah drastis dari waktu ke waktu tak terprediksi”, keadaan chaotic dalam dirinya ini tidak mengacu kepada suatu intervensi suatu makhluk supernatural (allah atau setan, misalnya) ke dalam dirinya sebagai penyebabnya, tetapi menunjukkan ada suatu problem psikologis dan problem serebral (problem di organ otak) dalam dirinya sendiri sebagai manusia, seperti bisa diperlihatkan dan diprediksi oleh psikologi dan neurosains berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya yang ternyata berulang.



Jadi, menurut hukum-hukum sains, mukjizat sama sekali tak dimungkinkan terjadi. Tetapi, dalam suatu zaman prasaintifik yang belum tersekularisasi, banyak mukjizat dilaporkan oleh kitab-kitab suci terjadi dalam alam, yang dilakukan oleh figur-figur agung yang dipercaya memiliki kekuasaan dan kekuatan ilahi.



Bagi penulis Perjanjian Lama, yang meyakini bahwa Yahweh, Allah mereka, selalu berpihak kepada bangsa Israel dan selalu melawan bangsa-bangsa asing, bukanlah hal aneh jika Tuhan Allah, karena berpihak kepada bangsa Israel, lewat tangan nabi besar Musa sanggup membelah Laut Merah semalam-malaman melalui hembusan angin timur yang sangat kuat (Keluaran 14:21) supaya mereka dapat luput dari kejaran Firaun Mesir dan bala tentaranya. Si penulisnya, ketika menulis kisah epik imajiner ini, sama sekali tidak memikirkan bahwa mustahil ribuan orang Israel bisa dengan tenang dan selamat menyeberangi laut itu di dalam hembusan angin badai yang sangat kuat semalam-malaman, yang akan membuat mereka tentu bukan hanya sekadar masuk angin (lalu buang-buang angin) tetapi juga terlempar ke mana-mana bak daun-daun kering. Sangat sulit untuk mendapatkan unsur-unsur historis dalam epik penyeberangan Laut Merah ini—sesuatu yang bertentangan dengan segala usaha kalangan Kristen literalis evangelikal untuk “membuktikan” (atau lebih tepat: menyebarkan suatu kabar bohong) bahwa penyeberangan Laut Merah adalah suatu peristiwa sejarah.



Bagi si penulis kitab Yunus dalam Perjanjian Lama, karena Allah memegang kendali atas gelora lautan dan atas binatang-binatang dalam laut, dan berdaulat atas bangsa-bangsa lain, maka dimungkinkan sama sekali kalau Yunus yang sudah ditelan seekor ikan besar bisa tinggal dengan tenang dan aman selama tiga hari tiga malam dalam perut ikan ini dan malah bisa berdoa bermalam-malam suntuk di dalamnya (Yunus 1:17-2:10) seolah dia sedang tinggal di dalam sebuah kamar ber-AC di sebuah hotel berbintang lima (tanpa listrik) yang kita bayangkan menyediakannya nasi, lauk dan anggur selama tiga hari tiga malam. Bukan hanya itu, menurut penulis kitab Yunus bahkan Allah sanggup dalam semalam menumbuhkan sebatang pohon jarak melampaui kepala Yunus untuk daun-daun lebarnya menaunginya (Yunus 4:6, 10) ketika Yunus sedang menunggu kota Niniwe dihancurkan oleh Allah dan penduduknya dibinasakan, yang ternyata malah tidak terjadi, sesuatu yang sama sekali sangat tidak diharapkan oleh Yunus. Kajian kritis atas kitab Yunus membuat kita harus menyimpulkan bahwa seluruh kitab Yunus adalah fiksi, yang direka-reka si penulisnya untuk menentang partikularisme Israel (pandangan bahwa Allah hanya memilih dan menyayangi satu umat partikular, yakni bangsa Israel) dan membela universalisme teologis (pandangan bahwa Yahweh Israel adalah juga Allah seluruh bangsa di seluruh muka Bumi dan Allah ini menyayangi juga bangsa-bangsa lain di seluruh muka Bumi). Tidak ada sedikitpun fakta sejarah yang menyangkut figur yang diberi nama Yunus dalam kitab ini, kecuali negeri yang bernama Niniwe.



Dalam Perjanjian Baru, ada banyak kisah tentang Yesus membuat mukjizat, dengan dia melanggar hukum-hukum alam dengan bebasnya. Pada kesempatan ini, ambil dua contoh yang luar biasa, yakni Yesus berjalan di atas air (Markus 6:45-52; Matius 14:22-33; Yohanes 6:16-21) dan Yesus memberi makan lima ribu orang lelaki (tak termasuk anak-anak dan perempuan) hanya dengan lima roti dan dua ekor ikan (Markus 6:30-44; Matius 14:13-21; Lukas 9:10-17; Yohanes 6:1-13). Apakah kedua kisah ini kisah faktual atau kisah fiktif?



Telaah kritis atas kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air sudah penulis lakukan di tempat lain./17/ Kisah ini sepenuhnya adalah fiksi, karena tak ada suatu kemungkinan kecil faktual apapun untuk seorang manusia dalam keadaan alamiah bisa berjalan di atas air sebab massa jenis tubuh manusia lebih besar dari massa jenis air yang akan membuatnya tenggelam di dalam air. Satu hal yang merupakan fakta sejarah adalah kebiasaan Yesus dan murid-muridnya berperahu di Danau Galilea yang sewaktu-waktu dapat bergelombang besar.



Kalau Yesus bisa berjalan di atas air yang dalam (katakanlah karena dia memiliki “ilmu meringankan tubuh” yang konon, menurut dongeng, dimiliki para guru silat Biara Shao Lin), dia sebetulnya memiliki suatu kesempatan emas untuk mendemonstrasikan kepandaian hebatnya ini di hadapan orang banyak (konon berjumlah sampai lima ribu orang laki-laki; lihat Markus 6:30-44, sebuah perikop yang langsung mendahului perikop Markus 6:45-52) untuk membuat mereka terkesima lalu menjadi percaya padanya. Tetapi, menurut teks yang kita baca, dengan disaksikan orang banyak yang terus mengikutinya, Yesus dan murid-muridnya “mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi” (Markus 6:32). Demikian juga, dalam kisah sebelumnya tentang Yesus meredakan angin ribut (Markus 4:35-41), di hadapan orang banyak yang melihatnya dan dengan di kelilingi perahu-perahu lain yang sedang berlayar di Danau Galilea, Yesus seharusnya dapat mendemonstrasikan kehebatannya jika memang dia bisa berjalan di atas air. Tetapi apa kata teks yang kita baca? Bukannya Yesus berjalan di atas air danau, dia malah “duduk” lalu “tidur” dalam perahu yang membawanya bertolak bersama murid-muridnya. Bukankah orang banyak akan makin terkesima lalu percaya pada Yesus jika Yesus bukan saja memperlihatkan kemampuannya meredakan angin ribut (4:39) tetapi juga kemampuannya berjalan di atas air? Jadi, bertolak dari teks-teks ini kita harus menyimpulkan bahwa Yesus sebetulnya tidak bisa berjalan di atas air. Jika demikian halnya, mengapa Markus 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air di tengah Danau Galilea? Kisah Markus ini tidak bermaksud melaporkan suatu kejadian sejarah faktual (bahwa Yesus dulu betulan berjalan di atas air yang dalam), melainkan mau menyampaikan sebuah ajaran tentang pemuridan (discipleship)—bagaimana orang seharusnya bersikap sebagai murid Yesus dalam suatu kehidupan nyata yang keras yang sedang mereka jalani, kehidupan yang secara ilustratif simbolik dilukiskan sebagai sebuah pelayaran yang berbahaya. Kalau Yesus bisa berjalan di atas air, dia tak akan perlu bersusah payah dan berlelah-lelah berjalan kaki atau naik seeokor keledai ketika dia dan murid-muridnya pergi ke Yerusalem pada suatu waktu perayaan Paskah Yahudi, sebab dia dapat menuju kota suci ini dengan terbang melayang di muka Bumi, malah, karena dia maha hebat, mungkin terbang dengan kecepatan cahaya.



Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ekor ikan juga sudah penulis telaah dengan kritis di tempat lain, dengan suatu kesimpulan bahwa kisah ini adalah suatu fiksi teologis mitologis./18/ Sejumlah unsur fiktif dalam kisah ini bisa ditunjukkan. Mustahil Yesus dari Nazaret bisa dengan aman menghimpun sampai 5000 orang lelaki di suatu negeri yang sedang dijajah Roma, di suatu provinsi (Galilea) yang sedang diperintah Raja Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) yang akan selalu mencegah dan menindas secara militeristik setiap upaya pengerahan massa seperti pernah dilakukannya terhadap Yohanes Pembaptis yang telah berhasil menghimpun banyak pengikut, sebagaimana dilaporkan oleh seorang sejarawan Yahudi, Flavius Yosefus (Antiquitates Judaica 18.116 dyb). Geza Vermes menyatakan bahwa jumlah 5000 orang ini tampak “dibesar-besarkan.”/19/ Tak ada suatu kemungkinan faktual sekecil apapun bahwa 5 roti dan 2 ekor ikan di tangan Yesus, sehabis didoakannya, langsung bertambah berlipat ganda, sehingga mendadak di sekitar Yesus muncul bergunduk-gunduk roti dalam jumlah besar; atau bahwa ketul-ketul roti dan ikan yang ada di tangan murid-murid Yesus ketika dibagi-bagikan tak bisa habis-habis, satu diberi langsung muncul satu yang baru lagi. Para mentalis dan illusionis dalam zaman modernpun, dengan menggunakan trik mental dan trik teknologis secanggih apapun, tak akan sanggup melakukan hal ini. Jadi, harus dinyatakan bahwa kisah ini tak lain adalah sebuah fiksi teologis mitologis yang dibangun dengan ilham dari teks-teks suci Perjanjian Lama yang mengisahkan keajaiban-keajaiban yang dibuat Musa (Keluaran 16) atau Elia dan Elisa (bdk 1 Raja-raja 17:11-16; 2 Raja-raja 4:42-44), dan memakai figur-figur besar ini sebagai model-model untuk membangun suatu citra religiopolitis fiktif Yesus./20/





Sensus plenior



Jika bagian terbesar (80 persen) dokumen-dokumen kitab suci adalah fiksi, dan hanya 20 persen fakta sejarah, maka hal ini sungguh menjadi suatu problem besar bagi seorang kritikus historis yang mau mencari landasan-landasan historis bagi suatu iman keagamaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Problem ini memang suatu problem yang dihadapi para penafsir historisis modern. Seperti dikatakan Feeney, “Para kritikus kuno…banyak menaruh perhatian lebih pada kelaikan moral dan nilai filosofis pernyataan-pernyataan fiksional yang mereka buat ketimbang pada status logis pernyataan-pernyataan itu atau pada sifat realitas pernyataan-pernyataan itu, sedangkan kritisisme modern arus utama memiliki prioritas yang berkebalikan.”/21/ Para kritikus sastra modern, khususnya kritikus historis berbagai sastra dalam kitab-kitab suci, dengan memakai nalar, logika dan sains sebagai instrumen-instrumen evaluatif, umumnya memandang suatu tulisan suci itu bernilai kalau tulisan suci ini melaporkan suatu peristiwa sejarah yang bisa ditelaah dan dijelaskan dengan logis, dan bukan memuat dongeng atau mitologi atau fiksi. Bagi mereka, seolah semua dongeng, mitologi atau fiksi dalam kitab-kitab suci tidak memiliki nilai-nilai lain apapun yang bukan nilai historis, misalnya, seperti ditulis Feeney, nilai moral yang dapat menjadikan manusia memiliki budi pekerti yang baik dan nilai filosofis yang bisa membuat orang memiliki berbagai kebijaksanaan hidup.



Juga harus selalu diingat bahwa bukan dalam rangka mengajarkan sejarah Yesus banyak bercerita lewat semua perumpamaan fiktifnya, melainkan untuk memberi berbagai ilustrasi bagaimana Allah itu dapat dimasuki dan dialami sebagai Allah yang penuh kerahiman dan kemurahan. Teologi ternyata juga memerlukan dan memang memakai fiksi sebagai suatu wahana sastra komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesannya. Fiksi juga menyandang suatu nilai religius. Dengan fiksi juga, orang dapat membuat banyak hal dalam dunia ini make sense, bermakna, dapat dimengerti dan masuk ke dalam akalnya.



Fiksi memang bisa membangun suatu moralitas yang bagus pada diri seorang beragama, dan bisa juga membuatnya lebih berhikmat, imajinatif, berbahagia dan terhibur dalam arti-arti tertentu, dan dapat membantunya masuk ke dalam berbagai pengalaman religius yang diproses dalam organ otak manusia. Tetapi, penulis ingin tekankan, kebanyakan hidup dalam kepercayaan pada fiksi dapat membuat orang terasing sama sekali dari kenyataan kehidupan yang seringkali tidak sebagus yang digambarkan dalam fiksi apapun. Bagi penafsir historisis, iman tanpa pijakan pada sejarah akan melahirkan seorang beragama yang hidup dalam delusi (= suatu kepercayaan yang salah, antara lain karena tak memiliki dasar pada fakta sejarah, tetapi tetap dipertahankan kuat-kuat); dan delusi dapat membuat orang pada akhirnya hidup dalam suatu alam khayalan dan paling akhir, seperti sudah ditulis di atas, akan mengirim mereka ke rumah sakit jiwa.



Tetapi para penafsir historisis juga dengan rendah hati mengakui bahwa mereka bukanlah kalangan yang satu-satunya berhak menentukan makna tunggal dalam setiap teks suci keagamaan, teks yang digunakan sebagai pembimbing bagi suatu komunitas keagamaan yang memilikinya. Makna harfiah historis dari suatu teks keagamaan barulah satu makna saja, bukan seluruh makna teks suci apapun, meskipun makna historis ini, hemat penulis, merupakan makna yang pertama-tama harus ditemukan dalam setiap usaha memahami teks suci apapun.



Dalam dunia penafsiran teks-teks Alkitab dikenal apa yang dinamakan sensus plenior, yakni “makna yang lebih penuh” atau “makna yang lebih dalam”, yang secara dogmatis dinyatakan sebagai makna-makna yang diberikan atau ditambahkan Allah kepada setiap teks suci, apapun genre dari teks suci ini, di luar dari yang dikehendaki si penulis asli teks. Menurut Walter C. Kaiser, istilah “sensus plenior” diciptakan oleh F. Andre Fernandez pada tahun 1927/22/ dan dipopulerkan oleh Raymond E. Brown yang mendefinisikan sensus plenior sebagai “makna tambahan, yang lebih dalam, yang dikehendaki oleh Allah tetapi tidak dengan jelas dikehendaki oleh si pengarang insani, yang dilihat ada dalam kata-kata suatu teks alkitabiah (atau sekelompok teks, atau bahkan suatu buku secara keseluruhan) ketika teks-teks ini dikaji dari sudut pandang wahyu atau perkembangan yang lebih jauh dalam pemahaman atas wahyu.”/23/



Dalam hermeneutik Yahudi, “makna yang lebih penuh” ini dijumpai dalam empat peringkat makna yang dipandang ada dalam setiap teks kitab suci, yakni peshat (= makna harfiah; pada peringkat filologis kontekstual), remez (= makna alegoris, yakni makna lain yang bukan makna harfiah, yang dapat diperoleh jika dilakukan referensi silang terhadap teks-teks lain, yang ada pada peringkat rasional atau filosofis), derash (= makna moral atau makna homiletis; berada pada peringkat aggadis, peringkat penafsiran/midrashik melalui derash), dan sod (= makna anagogis atau makna mistikal, yang “membawa” atau “memimpin” [Yunani: anagō] orang kepada kawasan spiritual yang lebih tinggi)./24/ Empat peringkat makna ini juga menjadi fokus dari hermeneutik gereja pada Abad Pertengahan./25/





Penutup



Perbincangan di atas tentang nisbah fiksi dan fakta sejarah dalam kitab suci membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa dokumen-dokumen dalam kitab suci tidak bisa dibatasi hanya pada genre fiksi dan genre historiografi dan interrelasi antara keduanya, sebab setiap teks kitab suci memiliki minimal empat peringkat makna yang keseluruhannya membentuk “makna yang lebih penuh” dari setiap teks kitab suci. Meskipun demikian, dalam rangka suatu kajian ilmiah terhadap agama,/26/ hermeneutik historisis yang berupaya menemukan makna teks suci dalam konteks sejarah kelahirannya haruslah tetap menjadi suatu hermeneutik yang berada di baris terdepan, sebab sebuah iman keagamaan yang tidak memiliki suatu dasar sejarah akan mudah tergelincir menjadi suatu iman khayalan dan delusi yang bisa membahayakan si mukmin dan komunitas keagamaannya dan bahkan dunia ini secara menyeluruh. Jika suatu agama apapun ingin menjadi sebuah pranata sosial yang dapat mendatangkan kebaikan kepada dunia luas, umat beragama ini harus bisa memetik pengalaman baik dari masa lampau kehidupan agama mereka, dan membuang pengalaman buruknya. Untuk tujuan inilah seharusnya fiksi dan fakta sejarah dalam kitab-kitab suci ditafsirkan dan dijelaskan. Pertanyaan berikut ini penting untuk dijawab: Untuk tujuan-tujuan historis kontekstual apakah dokumen-dokumen dalam setiap kitab suci, baik yang bersifat fiksional maupun yang bersifat faktual, telah ditulis?





Catatan-catatan



** Penulis adalah seorang kritikus teologi dan agama, dan juga menjadi seorang pengamat perkembangan sains modern, tinggal di Jakarta. Alamat email: ioanes27@yahoo.com. Alamat blog utama pribadi: http://www.ioanesrakhmat.com/. Makalah ini disampaikan dalam acara diskusi bertema Fiksi dan Non-Fiksi dalam Kitab Suci, yang diselenggarakan oleh Jaringan Islam Liberal pada Kamis, 4 November 2010, di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta, Indonesia.



/1/ Michael Wood, “Prologue” dalam Christopher Gill dan T.P. Wiseman, eds., Lies and Fiction in the Ancient World (Exeter: University of Exeter Press, 1993) xvi (xiii-xviii).



/2/ John Dominic Crossan, The Birth of Christianity: Discovering What Happened in the Years Immediately After the Execution of Jesus (San Francisco: Harper-SanFrancisco, 1998, 1999) 25; idem, “Historical Jesus As Risen Lord” dalam Gerald P. McKenny, gen. ed., The Jesus Controversy (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 1999) 3.



/3/ Michael Wood, “Prologue” dalam Christopher Gill dan T.P. Wiseman, eds., Lies and Fiction, xiii (xiii-xviii).



/4/ Charles W. Hedrick, Parables As Poetic Fictions: The Creative Voice of Jesus (Peabody: Hendrickson Publisher, 1994) 81 ff. Hedrick memanfaatkan kajian Franck Kermode, The Sense of An Ending: Studies in the Theory of Fiction (London: Oxford, 1966).



/5/ D.C. Feeney, “Towards an Account of the Ancient World’s Concepts of Fictive Belief” dalam Christopher Gill dan T.P. Wiseman, eds., Lies and Fiction, 233 (230-244).



/6/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord”, 5.



/7/ Sebuah uraian bagus tentang sekularisasi terdapat antara lain dalam karya Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion (New York: Doubleday & Company, 1969 [1967]). Belakangan, Berger berbicara tentang desekularisasi dunia; lihat Peter L. Berger, “The Desecularization of the World: A Global Overview” dalam Peter L. Berger, ed., The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics (Washington, D.C.: Ethics and Public Policy Center, 1999) 1-18. Gagasan Berger bahwa bangkitnya suatu pandangan dunia rasional telah merongrong fondasi iman kepada suatu dunia adikodrati, hal-hal yang misterius, dan magi, sangat kuat dipengaruhi oleh Max Weber melalui tulisannya, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Diterjemahkan oleh T. Parsons (New York: Scribner’s, 1930 [New York: Routledge Classics, 2006, dengan introduksi Anthony Giddens]); dan The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1993 [1922]). Tentang sekularisasi, lihat juga Talal Asad, Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity (Stanford, CA: Stanford University Press, 2003) bab 6 (181-201).



/8/ Alternatif ketiganya yang paling natural adalah Adam dan Hawa, manusia, adalah produk proses evolusi biologis spesies sebelumnya, melalui seleksi alamiah dan mutasi genetik yang berlangsung acak dan buta, tanpa desain apapun sebelumnya.



/9/ N.K. Sandars (penerjemah dan pengintrodusir), The Epic of Gilgamesh (London: Penguin Books, 1960, 1972) 108-113.



/10/ Sebuah tangkisan ilmiah terhadap klaim “junk science” NAMI, lihat Robert R. Cargill, “On the Misuse of Archaeology for Evangelistic Purposes” (June 2010) dalam http://www.bibleinterp.com/articles/misuse357930.shtml.



/11/ Gerd Lüdemann, Virgin Birth? The Real Story of Mary and Her Son Jesus (Harrisburg, PA: Trinity Press International, E.T. 1998) 131-134. Beberapa pakar yang menelusuri siapa ayah insani Yesus akan menemukan bahwa ayah insani Yesus yang sesungguhnya mungkin sekali adalah (Tiberius Julius Abdes) Panthera, seorang prajurit Roma, mungkin seorang Yahudi, asal Sidon. Tentang usaha penelusuran ini, lihat antara lain James D. Tabor, The Jesus Dynasty: The Hidden History of Jesus, His Royal Family, and the Birth of Christianity (dengan sebuah epilog baru) (New York, etc.: Simon & Schuster Paperback, 2007) 59-72. Suatu analisis sastra yang memperlihatkan bahwa kisah-kisah alkitabiah tentang kedua orangtua Yesus (Yusuf dan Bunda Maria) adalah kisah-kisah fiktif, lihat John Shelby Spong, Jesus for the Non-Religious (New York: HarperCollins Publisher, 2007) 25-36; idem, Yesus Bagi Orang Non-Religius: Menemukan Kembali Yang Ilahi di Hati Yang Insani. Terjemahan Indonesia oleh Ioanes Rakhmat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) 31-45.



/12/ Untuk suatu kajian kritis mutakhir yang hendak membuktikan bahwa Yesus adalah suatu figur mitologis yang tak pernah ada dalam sejarah, lihat Earl Doherty, Jesus Neither God Nor Man: The Case for A Mythical Jesus (new, revised and expanded) (Ottawa, Canada: Age of Reason Publication, 2009). Nama-nama berikut juga adalah para mitisis dalam kajian tentang Yesus: Thomas S. Verenna, James G. Crossley, Richard Carrier, dan Robert M. Prize.



/13/ Christopher Gill, “Plato on Falsehood—Not Fiction” dalam Christopher Gill dan T.P. Wiseman, eds., Lies and Fiction, 41, 69, 79, 81, 87 (38-87).



/14/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010) 30, 34, 171.



/15/ Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (New York: Prometheus Books, 2009) 118-119, 1 47-162, 209-225, 227-237; idem, The New Atheism: Taking a Stand for Science and Reason (New York: Prometheus Books, 2009) 194-197. Lihat juga Michael D. Fayer, Absolutely Small: How Quantum Theory Explains Our Everyday World (New York: Amacom, 2010) 76 ff.



/16/ Victor J. Stenger, Quantum Gods, 149.



/17/Lihat tulisan penulis, “Yesus berjalan di atas air?” dalam http://www.ioanesrakhmat.com/2009/07/yesus-berjalan-di-atas-air.html.



/18/Lihat tulisan penulis, “5 Roti dan 2 ikan, yang makan 5000 orang” dalam http://www.ioanesrakhmat.com/2010/09/5-roti-dan-2-ikan-yang-makan-5000-orang.html.



/19/ Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus (London, etc.: Penguin Books, 2004) 12.



/20/ Gerd Lüdemann, The Great Deception and What Jesus Really Said and Did (New York: Prometheus Books, 1999) 72; Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus, 13.



/21/D.C. Feeney, “Towards an Account of the Ancient World’s Concepts of Fictive Belief”, 234.



/22/ Walter C. Kaiser, Jr., “Single Meaning, Unified Referents: Accurate and Authoritative Citations of the Old Testament by the New Testament,” dalam Stanley N. Gundry et al., Three Views on the New Testament Use of the Old Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2007), 47./23/ Raymond E. Brown, The Sensus Plenior of Sacred Scripture (Baltimore: St. Mary’s University, 1955), 92; idem, “The History and Development of the Theory of a Sensus Plenior,” Catholic Biblical Quarterly 15 (1953) 141-162; idem, The Jerome Biblical Commentary Vol. 1 (London: Geoffry Chapman Publishers, London, 1971) 605–623. Lihat juga David H. Stern, Jewish New Testament Commentary (Maryland, 1992) 11–14.



/24/ Lihat Bryan Griffith Dobbs, “Levels of Meaning in Holy Scripture: ‘PaRDeS’” dalam http://www.kheper.net/topics/hermeneutics/PaRDeS-1.htm.



/25/ Lihat antara lain Mark Holtz, “All Scripture Is Inspired By God: Medieval Exegesis and the Modern Christian” (Catholic Dossier, March-April 1996) dalam http://www.ewtn.com/library/scriptur/medmod.txt.



/26/ Tentang alasan-alasan mengapa agama perlu dikaji secara saintifik, lihat tulisan penulis dalam http://ioanesrakhmat2009.blogspot.com/2010/09/mengapa-agama-harus-dikaji-secara.html; dan juga dalam Koran Tempo edisi 24 September 2010 hlm. A10 atau dalam http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/09/24/Opini/ krn.20100924.212624.id.html.


website : http://www.facebook.com/nersea.mareastia.the.darkness#!/note.php?note_id=460270564095

Hidup Dan Perjuangan

Apa yang tidak mampu terlepas satu sama lain? Yang mampu mengikat lebih erat daripada nadi. Yaitu kehidupan dan perjuangan.

Dimana hidup bernaung, disanalah perjuangan mengekori-nya. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa perjuangan. Dan mungkin semua memang sudah terukir jelas.

Mungkin memang terlalu naif. Tapi aku sadar arti sebuah perjuangan. Dimana nafas terhembus, disanalah perjuangan terucap. Bukan salah siapapun ketika semua terasa memberatkan. Tapi pahamilah bahwa tak selamanya ini salah.

Aku Dan Diriku

Jakarta Pusat, Jakarta, Indonesia
» aku adalah seseorang yang seperti apa aku pikirkan.mungkin tidak lebih.dan mungkin tidak kurang. » bagiku hidup adalah kejujuran yang mutlak.karena itulah kejujuran yang paling sejati dari Allah.

Just Believe In One Way

Percaya, inilah yang selalu aku pegang untuk mampu menjalani semua permasalahan kehidupan. Tanpa adanya kepercayaan maka arti hidup ini tak akan pernah jadi indah. Tapi aku berusaha memahami arti yang sebenarnya.

Ketika aku mulai menyadari segala hal itu memerlukan perjuangan. Maka aku menyadari pelbagai unsur dari kehidupan itu sendiri. Aku selalu membicarakan ini. Karena memang inilah yang terpenting. Dan inilah segala impian juga harapan yang menjadi satu buah kenyataan. Bermula dari bukan siapa-siapa, dan waktu yang sangat banyak membuatku ingin mencari sesuatu lebih bermakna.

my-favorite-picture

my-favorite-picture