Kebangkitan Yesus: Sebuah Halusinasi Permainan Warna
Dalam surat Galatia 1:11-12, Rasul Paulus menulis:
“Sebab aku menegaskan kepadamu, Saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah Injil menurut manusia. Karena aku tidak menerima (Yunani: paralambanō) Injil ini dari manusia, dan bukan manusia yang mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya melalui penyataan (Yunani: di’ apokalupseōs) Yesus Kristus.”
Kata kerja paralambanō (=menerima) dapat berarti menerima suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis dari orang lain sebelumnya tentang suatu kejadian historis; tetapi dalam teks Galatia 1:11-12 ini Rasul Paulus dengan sangat jelas menyatakan bahwa dia menerima Injil bukan dari manusia, melainkan dari “penyataan” yang disampaikan oleh Yesus Kristus kepadanya.
Bagaimana caranya Rasul Paulus menerima penyataan dari Yesus Kristus? Paulus dalam 1 Korintus 9:1, melalui sebuah pertanyaan retoris, menyatakan bahwa dia telah melihat (horaō) Tuhan. Menurut lexikon BDAG/1/, kata kerja horaō selain berarti “melihat dengan mata”, juga berarti “melihat suatu penglihatan” atau “melihat secara mental atau secara spiritual.” Dalam 2 Korintus 12:1-4 Rasul Paulus mengisahkan tentang seseorang, yang tidak lain adalah dirinya sendiri, yang telah menerima “penglihatan-penglihatan (optasias) dan penyataan-penyataan (apokalupseis)” “dari Tuhan” (kuriou) ketika dirinya, empat belas tahun sebelumnya, mengalami suatu perjalanan mistik masuk ke langit ketiga, ke Firdaus, dan di Firdaus ini dia “mendengar kata-kata yang tak terkatakan, yang tak boleh diucapkan manusia.”
Tampaknya apa yang dimaksud Paulus tentang hal-hal “yang tak terkatakan dan yang tak boleh diucapkan manusia” itu adalah Injil yang diberitakan olehnya. Dalam Roma 16:25-26 kita baca,
“Bagi Dia, yang berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan tentang Yesus Kristus, sesuai dengan penyataan (apokalupsis) rahasia, yang didiamkan berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan (fanerōthēnai) dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman.”
Jadi, kita dapat menyatakan bahwa Injil yang Rasul Paulus beritakan adalah Injil yang diterimanya melalui suatu penyataan atau penglihatan mistikal, bukan melalui suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu peristiwa sejarah. Dan melalui penafsiran kitab-kitab para nabi, Injil ini dapat ditemukan, karena sebelumnya, pada zaman lampau, Injil ini telah diberitakan oleh para nabi dalam kitab-kitab mereka atas perintah Allah.
Selanjutnya, tentang Injil yang diberitakannya, dalam 1 Korintus 15:1-9 Rasul Paulus menulis:
“(1) Dan sekarang, Saudara-saudara, aku mau mengingatkan kamu kepada Injil yang aku beritakan kepadamu dan yang kamu terima, dan yang di dalamnya kamu teguh berdiri…. (3) Sebab yang sangat penting telah kusampaikan (paredōka) kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima (parelabon) sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan kitab suci (kata tas grafas), (4) bahwa dia telah dikuburkan, dan bahwa dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci; (5) bahwa dia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas muridnya. (6) Sesudah itu dia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal. (7) Selanjutnya dia menampakkan diri kepada Yakobus, kemudian kepada semua rasul. (8) Dan yang paling akhir dari semuanya dia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti anak yang lahir sebelum waktunya. (9) Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya jemaat Allah.”
Dalam 1 Korintus 15:3 di atas, Paulus menyatakan bahwa dia “menyampaikan” (paradidōmi) apa yang dia telah “terima” (paralambanō). Dua kata kerja ini (paradidōmi dan paralambanō) dapat berarti bahwa Paulus “menyampaikan” suatu tradisi lisan atau suatu tradisi tertulis tentang suatu kejadian historis, yang dia sebelumnya “telah terima” dari orang lain. Tetapi, seperti telah dicatat di atas, Injil yang Paulus beritakan atau sampaikan bukanlah Injil sebagai suatu tradisi yang dia telah terima dari orang lain (atau dari rasul-rasul sebelumnya), melainkan Injil yang dia telah terima melalui suatu penyataan mistikal yang diberikan Yesus Kristus, dan yang dapat ditemukan melalui penafsiran kitab suci, khususnya kitab-kitab para nabi.
Dan Injil yang dia telah terima ini, dia juga telah sampaikan bukan sebagai sebuah tradisi atau sebuah ajaran dari orang lain, melainkan sebagai ajarannya sendiri. Kata benda paradosis (dari kata kerja paradidōmi), yang menurut BDAG berarti “tradisi atau isi ajaran yang disampaikan kepada orang lain,” dalam 1 Korintus 11:2 dan 2 Tesalonika 3:6 menunjuk kepada tradisi atau ajaran langsung dari Rasul Paulus sendiri. Dalam 1 Tesalonika 4:2 Paulus menyebut “petunjuk-petunjuk” (paraggelias) yang dia telah berikan kepada jemaat atas nama atau dalam kewibawaan Tuhan Yesus. Dalam 1 Korintus 11:23-26, ketika mengacu kepada perjamuan malam Yesus Kristus, Rasul Paulus membukanya dengan perkataan: “Sebab apa yang telah kuteruskan (paredōka) kepadamu, telah aku terima (parelabon) dari Tuhan….”
Dalam 1 Korintus 15:3-4 Rasul Paulus memerinci apa isi Injil yang diberitakan olehnya, yakni bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan kitab suci, bahwa dia telah dikuburkan, dan bahwa dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci. Dalam ayat-ayat ini dengan jelas Rasul Paulus menyatakan bahwa isi Injilnya ini adalah “sesuai dengan kitab suci”, kata tas grafas, yang juga berarti “sebagaimana kita ketahui dari kitab suci”, yang ditafsirkan secara baru dan dengan pengilhaman oleh Roh Kudus. Earl Doherty/2/ menyatakan bahwa teks-teks profetis dalam Perjanjian Lama yang mengilhami Rasul Paulus untuk memberi isi pada Injilnya adalah Yesaya 53 (tentang kematian yang menebus dosa), Hosea 6:2 (tentang kebangkitan setelah tiga hari), Mazmur 119:120; Mazmur 22:16; dan Zakharia 12:10.
Dalam 1 Korintus 15:4b Rasul Paulus mengungkapkan isi salah satu bagian dari Injilnya, yakni bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan pada hari yang ketiga, sesuai dengan kitab suci. Sudah ditegaskan di atas bahwa Injil yang Paulus beritakan tidak diterima olehnya dari suatu tradisi historis (lisan atau pun tertulis), tetapi lewat suatu penglihatan mistikal yang diberikan oleh Yesus Kristus, dan melalui suatu pembacaan secara baru atas kitab-kitab para nabi. Jadi, Injil yang disampaikannya bahwa Kristus telah dibangkitkan pada hari ketiga sama sekali bukan sebuah kabar baik yang disampaikan berdasarkan suatu kejadian sejarah, tetapi berdasarkan suatu visi atau penglihatan mistikal dan melalui pembacaan kristologis secara baru Hosea 6:2. Jika halnya demikian, seperti dilihat oleh Earl Doherty/3/, pantaslah jika di beberapa tempat dalam surat-suratnya Rasul Paulus mengindikasikan bahwa kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati adalah suatu perkara dalam dunia iman saja, bukan suatu kejadian sejarah dalam suatu dunia objektif material. Perhatikanlah teks-teks berikut.
“Karena jika kita beriman bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita beriman juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1 Tesalonika 4:14)
“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” (Roma 10:9)
“Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sia juga kepercayaan kamu…. Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu.” (1 Korintus 15:14, 17a)
Karena kebangkitan Yesus Kristus, sebagai salah satu isi Injil Paulus, adalah sesuatu yang diketahuinya lewat pengalaman penglihatan atau lewat suatu visi mistikal yang diberikan Yesus Kristus, maka “tubuh” Yesus yang sudah dibangkitkan, yang diklaim dilihat Rasul Paulus (1 Korintus 9:1; 15:8), tentu bukanlah suatu tubuh material protoplasmik yang dimiliki oleh setiap manusia biasa. Maka tepatlah jika Rasul Paulus menyebut “tubuh” kebangkitan sebagai “tubuh rohaniah” (sōma pneumatikon) yang berbeda dari tubuh alamiah atau tubuh jasmaniah (sōma psukhikon) (1 Korintus 15:44), atau sebagai “tubuh surgawi” (sōma epouranios) yang berbeda dari tubuh duniawi (sōma epigeios) (ayat 40). Sudah dicatat di atas, bahwa Rasul Paulus mengklaim dirinya “melihat” Tuhan (1 Korintus 9:1), “melihat” dalam arti spiritual dan mental, bukan dengan mata biasa. Dalam Filipi 3:20-21, Rasul Paulus juga menyebut “tubuh kebangkitan” Yesus sebagai tubuh non-material, “tubuh yang mulia” (to sōma tēs doksēs). Di luar surat-surat asli Paulus, rujukan kepada “tubuh rohaniah” atau “tubuh surgawi” Yesus yang bangkit ditemukan antara lain dalam 1 Petrus 3:18-22 (“Ia [=Yesus Kristus], yang telah dibunuh dalam keadaannya sebagai manusia, tetapi telah dibangkitkan menurut roh [pneumati]); Efesus 1:20 (“… dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga”), dan Ibrani 10:12; 13:20 yang menunjukkan penulisnya tidak mengenal konsep tentang kebangkitan daging.
Bagaimana wujud “tubuh rohaniah” yang dibayangkan Rasul Paulus ini, yang bukan “tubuh berdaging” atau “tubuh jasmaniah”, yang dapat dilihat olehnya lewat suatu visi atau penglihatan mistikal? Tentang ini, Richard Carrier membuat sebuah obervasi menarik berikut ini.
“Gagasan bahwa jiwa tidak memiliki massa, bahwa jiwa bukan ‘tubuh’ dengan lokasi, yang terbuat dari materi, tidaklah lazim di dunia kuno, tidak seperti pada zaman sekarang. Sebetulnya, gagasan umum tentang suatu jiwa yang tak memiliki massa, jiwa yang immaterial, pada dasarnya adalah suatu produk pemikiran Abad Pertengahan, meskipun gagasan ini telah memiliki suatu tempat embrionik di dalam Platonisme dan kultus-kultus pagan tertentu. Jadi, adalah mungkin bahwa Paulus dan orang-orang Kristen perdana lainnya percaya bahwa sang Kristus yang telah bangkit memiliki sebuah ‘tubuh’ baru, meskipun kini terbuat dari bahan yang tak bisa binasa…. Tubuh baru ini pastinya terbuat dari zat eterial murni dan homogen, zat-zat yang membentuk kawasan angkasa, yang umum dikenal oleh semua pemikir pada masa itu sebagai satu-satunya zat yang tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat berubah, di dalam jagat raya.”/4/
Nah, “tubuh eterial” semacam ini, “tubuh rohani” namun memiliki “substans” atau “zat”, dipercaya oleh orang Yunani-Romawi pada era kekristenan perdana sebagai tubuh para dewa. Relevan dengan hal ini, perlu diingat, di dalam Markus 9:2-8 ada sebuah kisah tentang Yesus berubah rupa, mengalami transfigurasi di sebuah gunung yang tinggi, pada saat mana juga muncul Elia dan Musa yang bisa “dilihat” oleh murid-murid Yesus yang hadir dan mengalami ketakutan luar biasa (Petrus, Yakobus dan Yohanes); tetapi kedua orang zaman lampau ini kemudian menghilang lagi begitu saja. Walaupun tidaklah jelas bagaimana ketiga murid Yesus ini bisa mengenali wajah Elia dan Musa yang mereka tidak pernah jumpai, namun kejadian ini dikisahkan sedemikian rupa, dan pengisahan yang semacam ini harus membuat pembaca menyimpulkan bahwa peristiwa yang dikisahkan ini adalah suatu peristiwa penglihatan atau suatu visi. Bisa jadi kisah ini semula adalah kisah tentang suatu penampakan Yesus sesudah kebangkitannya, yang dilihat para murid dalam suatu penglihatan mistikal. Yang jelas dalam kisah ini, Elia dan Musa digambarkan masing-masing memiliki suatu “tubuh” yang tidak biasa, yang bisa dilihat namun sebentar kemudian lenyap begitu saja, yang kemunculannya juga tak diduga-duga sebelumnya oleh para murid penyaksi.
Bisa jadi, konsep kuno tentang zat eterial alam semesta melatarbelakangi pemikiran Rasul Paulus tentang “tubuh rohani” yang dikatakannya sebagai tubuh Yesus yang sudah dibangkitkan, sebagai suatu prototipe “tubuh yang diubah” dari orang-orang lain yang nanti akan mengalami kebangkitan. Tetapi, ada dua kesulitan timbul jika “tubuh rohani” itu adalah tubuh eterial. Pertama, jika zat eterial ini ada dan nyata, dan dengan demikian juga “tubuh rohani” eterial, maka orang tak perlu harus mengalami suatu visi atau penglihatan mistikal untuk dapat melihatnya, melainkan dapat melihat langsung dengan mata biasa. Kedua, tentu saja, konsep kuno zat eterial semesta ini salah. Dalam zaman sekarang, kita tidak lagi berpikir bahwa alam semesta terbentuk dari zat eterial.
Jika kita harus percaya bahwa Rasul Paulus memang sungguh-sungguh “melihat” Yesus yang sudah bangkit dalam suatu penglihatan mistikal atau dalam suatu visi/5/, adakah alternatif lain untuk kita pikirkan sebagai “wujud” tubuh rohaniah ini? Sebagaimana disarankan oleh James G. Crossley, teks Markus 6:49-50 patut dipertimbangkan./6/ Di situ Markus menuturkan bahwa pada jam tiga malam murid-murid melihat Yesus berjalan di atas air, hendak melewati mereka yang sedang berperahu dengan susah payah karena angin sakal. Segera mereka mengira bahwa Yesus adalah hantu (Yunani: fantasma), lalu mereka berteriak-teriak karena kaget dan takut luar biasa. Teks ini menunjukkan bahwa pada era kekristenan perdana, ada kepercayaan bahwa hantu itu terlihat, memiliki suatu wujud kongkret, dan melakukan gerakan-gerakan tanda hidup. Tampaknya pada awalnya kepercayaan bahwa Yesus-yang-sudah-bangkit bertubuh kasat mata sebagai hantu, non-material tetapi berwujud (ghostly and bodily), sudah cukup meluas beredar, sehingga penulis Injil Lukas (di tahun 85) merasa perlu untuk menangkis kepercayaan ini. Lukas menulis dalam Lukas 24:36-43 bahwa untuk menepis sangkaan para muridnya bahwa Yesus adalah “hantu” atau “roh” (pneuma)/7/ yang kelihatan nyata, Yesus, dalam ayat 39, berkata, “Lihatlah tanganku dan kakiku: Aku sendirilah ini; rabahlah aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat ada padaku.”
Tentu saja, pemahaman Lukas bahwa Yesus bukan hantu, tetapi bertubuh kongkret lengkap dengan daging dan tulang, malah juga bisa memakan sesuatu (Lukas 24:43), sudah jauh meninggalkan konsep Rasul Paulus yang tidak mengenal baik gagasan tentang “kebangkitan daging” maupun gagasan tentang “kubur kosong.” Kedua gagasan yang muncul belakangan ini, termasuk kisah-kisah penampakan Yesus yang sudah bangkit secara ragawi, diajukan oleh semua penulis Injil- injil dalam Perjanjian Baru ketika para rasul utama dalam kekristenan perdana sedang terlibat dalam suatu pertarungan politis memperebutkan posisi utama dalam hirarki kepemimpinan gereja. John Dominic Crossan berpendapat bahwa kisah-kisah Injil-injil Perjanjian Baru tentang penampakan-penampakan Yesus dan tentang penyataan-penyataan yang diberikannya secara perlahan menggeser penekanan terhadap pemberian penyataan-penyataan ini secara konsisten dan hirarkis, mulai dari komunitas secara umum, lalu ke kelompok para pemimpin, sampai akhirnya ke para pemimpin khusus yang memegang otoritas apostolis./8/ Juga seperti kata Helmut Koester, “kisah-kisah kesengsaraan yang ditulis, yang beredar, dan juga tulisan-tulisan yang menjadi Injil-injil, menyingkapkan suatu kepentingan politis.”/9/ Werner Kelber juga menyatakan bahwa jenis kisah-kisah penampakan Yesus setelah kebangkitannya, yang mengisi kitab-kitab Injil Perjanjian Baru khususnya, cocok untuk menetapkan dan meningkatkan pengetahuan esoteris dan otoritas apostolis./10/
Ya, dalam banyak kebudayaan kepercayaan pada adanya hantu (orang mati) yang berjalan-jalan lalu menampakkan diri kepada manusia pasti dapat ditemukan, bahkan juga pada zaman modern sekarang ini. Dengan berdasar pada pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh antropologi lintas-budaya, antar-agama dan psikososial, dan juga yang diperoleh dari kajian-kajian psikiatris modern terhadap kondisi-kondisi mental manusia ketika mengalami kedukaan dan kehilangan, Crossan menyimpulkan bahwa suatu visi atau suatu penglihatan mengenai hantu, yakni mengenai orang yang sudah mati tetapi tampak hidup lagi dan aktif, adalah suatu kemungkinan yang umum terjadi pada manusia, suatu kemungkinan yang terhubung kuat dengan otak kita, yang faktual terjadi di abad pertama dan di zaman modern./11/ Selain itu, dengan memperhatikan tulisan Virgil, Aeneid Buku 2, tulisan Justin Martyr, 1 Apology 21, dan juga suatu bagian dari tulisan Celsus, On the True Doctrine, Crossan menyimpulkan bahwa di dalam kebudayaan Laut Tengah kuno, pada awal mula berdirinya kekristenan, penampakan-penampakan diri orang-orang yang sudah mati, dan kenaikan ke surga orang-orang yang sudah mati tetapi hidup lagi, diterima sebagai kemungkinan-kemungkinan yang nyata, dan bukan sebagai kejadian-kejadian yang abnormal dan sepenuhnya unik./12/ Setelah mengkaji kisah-kisah tentang penampakan hantu orang-orang yang sudah mati dalam kebudayaan Yunani klasik, kebudayaan Romawi, dan dalam teks-teks Yahudi, Thomas S. Verenna menyimpulkan bahwa kisah-kisah tentang hantu adalah “fenomena kebudayaan”, dan tradisi serta kepercayaan tentang hantu-hantu orang-orang mati yang gentayangan “berakar pada fenomena psikologis dan fisikal yang sangat nyata” yang “dapat terjadi dalam aneka ragam bentuk.”/13/
Memang tidak semua orang akan begitu saja mengklaim telah melihat hantu orang-orang mati. Ada prakondisi-prakondisi psikologis patologis tertentu yang harus dialami seseorang sebelum dia bisa menerima suatu penglihatan atau suatu visi melihat hantu. Misalnya prakondisi psikologis sedang berduka sangat dalam karena kehilangan orang yang sangat dikasihi. Atau prakondisi psikologis terbuka pada pengalaman-pengalaman paranormal atau spiritual, berhubung yang bersangkutan memang menjalani suatu pergaulan yang intensif dengan kelompok-kelompok paranormal atau kelompok-kelompok spiritual tertentu yang memiliki buku-buku bacaan, keyakinan-keyakinan dan ritual-ritual spesifik. Apa yang dinamakan halusinasi akan dengan mudah dialami oleh orang-orang yang memiliki prakondisi-prakondisi sosio-psikologis semacam ini.
Penglihatan akan hantu tergolong halusinasi, sebab hantu yang sama bisa tidak terlihat oleh orang lain yang ada bersama dengan orang yang mengalami halusinasi ini. Dalam suatu kajian tentang fenomena halusinasi dalam lingkungan kehidupan orang-0rang Kristen perdana, Richard Carrier menyatakan bahwa orang-orang Kristen perdana kerap secara teratur mengalami halusinasi, yang menyebabkan mereka juga menerima penyataan-penyataan yang serupa dengan yang diterima Rasul Paulus yang sebelumnya memang juga mengalami halusinasi./14/ Carrier menulis, “pengalaman-pengalaman halusinasi yang jelas, terdokumentasi dengan baik di sepanjang semua tradisi keagamaan, di sepanjang sejarah, dan tampaknya otak manusia secara khusus terhubung dengan pengalaman-pengalaman ini.”/15/ Menurut Slade dan Bentall, yang dirujuk oleh Carrier, “proses dan kondisi patologis …umumnya dikaitkan dengan pengalaman halusinasi. Kondisi ini mencakup kerusakan sistem pengindraan, variasi-variasi fisiologis seperti bertambahnya suhu tubuh dan kekurangan air, gangguan sistem saraf pusat, dan kondisi-kondisi psikiatris seperti skizofrenia dan psikoses depresif yang berlebihan.”/16/
Jika penglihatan Rasul Paulus terhadap Yesus yang “bertubuh rohani” memang adalah suatu penglihatan terhadap hantu Yesus, maka pengalaman penglihatannya ini adalah suatu halusinasi, yang diklaimnya sebagai suatu pengalaman penglihatan atau suatu pengalaman menerima visi dari Yesus Kristus sendiri, yang ditafsirkannya sudah tercantum dalam kitab-kitab para nabi tertentu. Bukan hanya dialami Rasul Paulus, pengalaman halusinasi ini juga dialami oleh rasul-rasul lain yang disebutnya: Kefas, dua belas murid, lima ratus saudara sekaligus, Yakobus, semua rasul. Kalau para sejarawan modern telah mencatat dengan benar dan tak ada unsur pembesar-besaran berita, tercatat bahwa di kawasan peziarahan Cova da Iria, di Fatima, Portugal, pada 13 Oktober 1917, tujuh puluh ribu peziarah serentak melihat Matahari “merobek dirinya sendiri dari angkasa lalu menimpa kerumunan orang banyak yang ketakutan.”/17/ Tentu laporan ini bukanlah sebuah laporan tentang suatu kejadian astronomis betulan, melainkan sebuah laporan tentang terjadinya halusinasi massal, yang melibatkan bukan hanya lima ratus peziarah, tetapi tujuh puluh ribu. Kapanpun juga, halusinasi adalah suatu pengalaman psikologis, yang terhubung ke organ otak, bukan suatu pengalaman mengenai suatu kejadian historis dalam suatu dunia objektif. Pengalaman halusinasi Rasul Paulus melihat hantu Yesus dengan tepat disebutnya sebagai suatu pengalaman yang hanya ada dalam iman.
by Ioanes Rakhmat
Catatan-catatan
/1/ A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (third edition; Chicago and London: University of Chicago Press, 2000). Lexikon edisi ketiga ini disebut juga dengan singkatan BDAG (Bauer-Danker-Arndt-Gingrich).
/2/Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God: The Case for A Mythical Jesus (edisi baru yang diperluas; Ottawa, Canada: Age of Reason Publication, 2009) 47, 85-86.
/3/ Earl Doherty, Jesus Neither Man Nor God, 79.
/4/ Richard Carrier, “Osiris and Pagan Resurrection Myths” (2000) dalam situs http://www.frontline-apologetics.com/Carrier_on_Osiris_.html.
/5/ Bandingkan dengan tuturan tentang fotisme yang dialami Rasul Paulus dalam suatu perjalanannya ke Damsyik dalam Kisah Para Rasul 9:3-9; 22:6-11; 26:12-18. Menurut para antropolog, penglihatan berupa suatu “sosok bercahaya” (= fotisme) adalah sebuah fenomena lintas-budaya, yang dapat ditemukan dalam banyak kehidupan suku-suku bangsa di dunia ini.
/6/ Michael F. Bird and James G. Crossley, How Did Christianity Begin? A Believer and Non-believer Examine the Evidence (London/Peabody: SPCK and Hendrickson Publisher, 2008) 54.
/7/BDAG menerjemahkan pneuma dalam Lukas 24: 37, 39 sebagai “ghost”, hantu.
/8/ John D. Crossan, The Historical Jesus: The Life of A Mediterranean Jewish Peasant (New York: HarperCollins, 1991) 395-416; idem, Jesus: A Revolutionary Biography (New York: HarperCollins, 1994) 165 dyb.; idem, Who Killed Jesus? Exposing the Roots of Anti-semitism in the Gospel Story of the Death of Jesus (New York: HarperCollins, 1995) 202 dyb.
/9/ Helmut Koester, “Writings and the Spirit: Authority and Politics in Ancient Christianity” dalam Harvard Theological Review 84:4 (1991) 369 [253-372].
/10/ Werner H. Kelber, “Narrative and Disclosure: Mechanisms of Concealing, Revealing, and Reveiling” dalam Semeia 43 (1988) 6 [1-20].
/11/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord” dalam The Jesus Controversy: Perspectives in Conflict. Penyunting umum: Gerald P. McKenny (Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press International) 6-7 [1-47]; idem, Jesus: A Revolutionary Biography, 87-88; idem, “Why Is Historical Jesus Research Necessary?” dalam James H. Charlesworth and Walter P. Weaver (eds.), Jesus Two Thousand Years Later (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2000) 17-18 [7-37]. Bdk. Gerd Lüdemann dan Alf Özen, De Opstanding van Jezus: Een Historische Benadering (Baarn: Ten Have, 1996) 176-178 [114-178].
/12/ John D. Crossan, “Historical Jesus As Risen Lord”, 6 dyb., 26-31.
/13/ Thomas S. Verenna, Of Men and Muses: Essays on History, Literature, and Religion (Lulu.com, 2009) 145.
/14/Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ” dalam Robert M. Price dan Jeffery Jay Lowder, eds., The Empty Tomb: Jesus Beyond the Grave (2005) 184-188.
/15/ Richard Carrier, “The Spiritual Body of Christ”, 184.
/16/ Peter D. Slade dan Richard P. Bentall, Sensory Deception: A Scientific Analysis of Hallucination (1988) 28.
/17/ http://www.sofc.org/Spirituality/s-of-fatima.htm.
Aku hanya berusaha untuk menjadi siapa diriku yang sejatinya tak mudah dimengerti. Semua yang tidak dapat terucap oleh lisan. Dan mungkin tidak sempat terjelaskan. Selayaknya menjadi satu pembahasan yang mampu menjadi pembelajaran yang nyata di kehidupan kita. Karena bila kita bertambah tua sudah semestinya hidup terus dihargai. Berdasarkan rasa dan harapan, doa yang tidak pernah terputus di saat malam tiba.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hidup Dan Perjuangan
Apa yang tidak mampu terlepas satu sama lain? Yang mampu mengikat lebih erat daripada nadi. Yaitu kehidupan dan perjuangan.
Dimana hidup bernaung, disanalah perjuangan mengekori-nya. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa perjuangan. Dan mungkin semua memang sudah terukir jelas.
Mungkin memang terlalu naif. Tapi aku sadar arti sebuah perjuangan. Dimana nafas terhembus, disanalah perjuangan terucap. Bukan salah siapapun ketika semua terasa memberatkan. Tapi pahamilah bahwa tak selamanya ini salah.
Dimana hidup bernaung, disanalah perjuangan mengekori-nya. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa perjuangan. Dan mungkin semua memang sudah terukir jelas.
Mungkin memang terlalu naif. Tapi aku sadar arti sebuah perjuangan. Dimana nafas terhembus, disanalah perjuangan terucap. Bukan salah siapapun ketika semua terasa memberatkan. Tapi pahamilah bahwa tak selamanya ini salah.
Aku Dan Diriku
- Mega Agnes Ernanda The Blog
- Jakarta Pusat, Jakarta, Indonesia
- » aku adalah seseorang yang seperti apa aku pikirkan.mungkin tidak lebih.dan mungkin tidak kurang. » bagiku hidup adalah kejujuran yang mutlak.karena itulah kejujuran yang paling sejati dari Allah.
Just Believe In One Way
Percaya, inilah yang selalu aku pegang untuk mampu menjalani semua permasalahan kehidupan. Tanpa adanya kepercayaan maka arti hidup ini tak akan pernah jadi indah. Tapi aku berusaha memahami arti yang sebenarnya.
Ketika aku mulai menyadari segala hal itu memerlukan perjuangan. Maka aku menyadari pelbagai unsur dari kehidupan itu sendiri. Aku selalu membicarakan ini. Karena memang inilah yang terpenting. Dan inilah segala impian juga harapan yang menjadi satu buah kenyataan. Bermula dari bukan siapa-siapa, dan waktu yang sangat banyak membuatku ingin mencari sesuatu lebih bermakna.
Ketika aku mulai menyadari segala hal itu memerlukan perjuangan. Maka aku menyadari pelbagai unsur dari kehidupan itu sendiri. Aku selalu membicarakan ini. Karena memang inilah yang terpenting. Dan inilah segala impian juga harapan yang menjadi satu buah kenyataan. Bermula dari bukan siapa-siapa, dan waktu yang sangat banyak membuatku ingin mencari sesuatu lebih bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar